Birokrat, KYC, dan Pencucian Uang

REFORMASI birokrasi, di antaranya dalam bentuk perbaikan sistem remunerasi/penggajian, yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan, ternyata belum berpengaruh terhadap perilaku jajaran birokrat. Mencuatnya skandal korupsi pajak oleh Gayus H. Tambunan setidaknya memperlihatkan dengan vulgar belum tampaknya reformasi birokrasi itu. Padahal, reformasi tersebut telah dilaksanakan hampir di semua lini para aparat penegak hukum yang selama ini rawan sogok, suap, dan upeti.

Biasanya, modusnya tidak jauh dari transaksi melalui penyedia jasa keuangan (PJK), dalam hal ini perbankan. Transaksi itu tidak terbatas pada mata uang rupiah, bisa juga berupa valuta asing (valas), uang kertas asing (UKA), maupun banknote. Transaksi bisa dilakukan di pedagang valas atau bank-bank devisa. Bisa saja alirannya berupa rupiah yang keluar dari rekening tertentu di bank, kemudian ditukar dan dibelikan valas tertentu sesuai dengan kesepakatan antara penyuap dan yang disuap. Selama ini, modus semacam itu belum sering dijumpai di lapangan. Karena itu, cara tersebut bisa dikategorikan sebagai modus baru pencucian uang haram/ilegal.

Pencucian uang (money laundering) memiliki pengertian sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang dari hasil tindak pidana. Menurut pasal 2 UU No 15 Tahun 2002, tindak pidana yang menjadi pemicu pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran, perbankan, narkotik, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/ senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.

Pertajam KYC
Hebohnya skandal korupsi pajak oleh GHT terkuak setelah ditemukannya aliran dana dalam jumlah kakap di sejumlah rekening miliknya pada beberapa bank. Dalam dunia perbankan, ada satu prinsip yang harus diterapkan dalam menerima pembukaan rekening dan membangun hubungan kenasabahan dengan customer. Prinsip itu dikenal dengan istilah know your customer (KYC) atau mengenal nasabah. Masalah tersebut diatur secara rapi oleh regulator, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), melalui Peraturan BI No 5/21/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.

Intinya, bank dalam menjaring nasabah harus selektif. Yakni, bank mengenal betul nasabahnya. Prinsip KYC merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengendalian risiko bank. Ketidakcukupan dalam penerapan prinsip KYC dapat memperbesar risiko yang dihadapi bank, baik risiko operasi, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi. Maklum, bank merupakan lembaga yang sangat rentan terhadap nasabah yang tidak bertanggung jawab dan menjadi target utama tempat pencucian uang.

Tak aneh, dalam menjaring nasabah dana (funding customer), bank harus berhati-hati. Para petugas garda depan harus mengenal persis calon nasabah, baik identitasnya, sumber dana yang akan disimpan, maupun sumber penghasilan. Selain itu, mereka harus tahu apakah jumlah simpanan sudah sesuai dengan profil si nasabah/bisnisnya dan yang bersangkutan masuk kategori high risk customer/high risk business. Karena itu, saat membuka rekening, si calon nasabah harus datang dan bertemu langsung dengan petugas bank.

Dalam pertemuan itu, si petugas bank (biasanya customer service officer) bakal mewawancara secara singkat. Nah, di situlah perlunya mengecek, apakah si pembuka rekening adalah calon nasabah langsung atau menggunakan kartu identitas palsu. Biasanya, si calon nasabah diwajibkan mengisi aplikasi pembukaan rekening yang sudah standar untuk mendeteksi identitas, sumber dana, sumber pendapatan, tujuan penggunaan dana, jumlah penghasilan, dan lain-lain.

Ada satu tipikal para pencuci uang. Biasanya, mereka tidak sensitif terhadap berbagai biaya yang dikenakan oleh bank. Sebab, tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

Sayang, selama ini yang paling rajin melaporkan berbagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction) dan transaksi tunai di atas Rp 500 juta (cash transactions) hanya bank. Sementara itu, PJK lain masih cenderung malas untuk melaporkan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Terkait dengan itu, sedikitnya jumlah PJK yang melapor kepada PPATK mendesak untuk diatasi. PPATK harus mulai menegakkan aturan main sesuai dengan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, cakupan PJK yang harus melaporkan berbagai transaksi keuangan mencurigakan patut diperluas.

Menurut UU, PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan, tidak terbatas pada bank. PJK lain dapat berupa lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksadana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpan dan penyelesaian, pedagang valas, lembaga penyedia dana pensiun, serta perusahaan asuransi.

Arti pengertian tidak terbatas itu, profesi lain yang berpotensi digunakan oleh para pencuci uang juga wajib melapor kepada PPATK. Beberapa di antara profesi yang rawan terhadap pencucian uang adalah pedagang emas dan berlian (permata), perusahaan properti (developer), diler mobil, koperasi simpan pinjam (kospin), BMT, notaris, dan pengacara.

Khusus para pejabat negara, yang karena jabatan dan profesinya juga rawan pencucian uang haram, harus melapor kepada PPATK. Dalam konteks terakhir, audit dan tracking kekayaan diperlukan sebelum dan selama menduduki jabatan tertentu. (*)

Susidarto, bekerja di sebuah bank di Jogjakarta. Tulisan ini pendapat pribadi
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 31 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan