Bertahan dalam Tekanan Demi Kebenaran
Ririn Wedia tak pernah menyangka hidupnya bakalan seperti roller coaster selama tiga bulan sebelum November 2019. Wartawan Suara Banyu Urip ini selama satu triwula itu ditinggalkan sejumlah koleganya ketika menginvestigasi pembangunan proyek Dander Park. Tak cuma drama pengkhianatan, hidupnya juga penuh dengan ancaman dari pihak yang terganggu dengan pemberitaannya. Karena itu, dia pun tak kuasa menahan haru ketika kerja kerasnya selama tiga bulan terbit pada 8 November 2019. “Sepuluh tahun menjadi wartawan, saya tidak pernah menulis seperti ini,” kata Ririn Wedia sambil berkaca-kaca.
Ririn menjadi koordinator tim jurnalis saat menginvestigasi kolaboratif proyek renovasi kolam renang Dander Park di Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro. Investigasi itu dikerjakan bersama sejumlah jurnalis dan organisasi masyarakat sipil lokal di wilayah itu. Sebelum menelusuri kasus ini, Ririn beserta para jurnalis lain mengikuti Pelatihan Pemantauan Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 19 Juni 2019 di Aston Bojonegoro City Hotel.
Berdasarkan investigasi yang ia lakukan sejak Juni-Oktober 2019, Ririn dan timnya menemukan sejumlah kejanggalan di dalam revitalisasi ini. Mereka mencium indikasi keterlibatan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro. Pasalnya, pemenang lelang proyek senilai Rp 6,5 miliar pada 2015 dan Rp 4,6 miliar pada 2016 diduga terafiliasi dengan anggota Dewan tersebut.
Ada tiga perusahaan yang ikut serta dalam lelang tahap kedua. Mereka adalah PT Cakra Indonesia Energi, PT Daya Patra Ngasem Raya, dan PT Nusa Raya Majapahit. Investigasi ini mengungkap, ketiga perusahaan itu adalah perusahaan keluarga yang bermuara pada seorang anggota Badan Anggaran DPRD Bojonegoro dari Partai Demokrat.
Ririn menceritakan, tak mudah menyelidiki proyek-proyek pemerintah daerah apalagi yang bernilai besar seperti renovasi Dander Park. Risikonya adalah keselamatan Ririn dan jurnalis lain. Ia khawatir sebab proyek itu melibatkan pejabat lokal yang memiliki jaringan dan kekuatan finansial. Apalagi, Ririn menyadari, perhatian publik terhadap keselamatan wartawan di daerah kerap tak sebesar jurnalis yang bertugas di Jakarta.
Selama proses investigasi selama tiga bulan, Ririn banyak mendapat pengalaman pahit. Dia pernah diancam oleh pihak yang terganggu dengan pemberitaannya kali ini. Apalagi, narasumber tertuduh merupakan anggota DPRD setempat. Sebagai jurnalis, Ririn kerap menjadikan anggota legislatif itu sebagai narasumber dan meminta pendapatnya untuk berbagai isu. Namun, beberapa hari menjelang waktu penerbitan liputan investigasnya, sang anggota Dewan menelepon Ririn sembari marah-marah. Pejabat tersebut mengintimidasi Ririn dan menuduhnya memiliki itikad buruk hingga berniat menyebarkan fitnah. “Rin, kamu tuh beneran ikut investigasi soal Dander Park? Kamu nggak usah bohong. Aku sudah dapat cerita dari teman-teman,” kata Ririn menirukan ucapan anggota DPRD tersebut.
Mulanya, Ririn gemetar mendapat pertanyaan itu. Namun, dia berusaha untuk tidak gentar. “Saya juga nggak tahu kalau ternyata ini larinya ke panjenengan [Anda],” kata Ririn. “Saya ini wartawan dan saya mempunyai tanggung jawab menulis kasus ini.”
Tak terima dengan penjelasan Ririn, anggota Dewan itu meminta Ririn datang ke kantornya. Alasannya, sang anggota Dewan itu ingin menunjukkan data-data dan membantah tuduhan yang dialamatkan padanya. Persoalannya, sang anggota Dewan itu meminta Ririn datang sendiri. Ririn menolak datang tanpa ditemani siapapun. Sebagai jalan tengah, dia menawarkan sang pejabat untuk datang ke kantor redaksi Suara Banyu Urip. Namun, tawaran itu ditolak oleh sang anggota Dewan.
Ririn mengatakan, ini untuk pertama kali dalam sepuluh tahun karir wartawannya dia memiliki masalah dengan narasumber. Dia pun sempat ingin mundur dari tim investigasi. Kegalauan merasuk ke pikirannya. Apalagi empat koleganya sesama jurnalis juga telah mengundurkan diri. “Saya bingung jika dia nanti membaca naskahnya, bagaimana kalau ancamannya lebih berat lagi? Saya takut,” tutur Ririn.
Niat Ririn untuk menyerah makin memuncak tatkala salah satu kawan dekatnya, yang juga sama-sama jurnalis di kota itu, mundur. Peristiwa ini terjadi ketika proses investigasi sudah memasuki tahap akhir. Sang kawan bercerita, dia memperoleh intimidasi akibat terlibat dalam peliputan proyek ini.
Kawannya itu menuturkan, dia tak ingin kehilangan relasi dan pekerjaan. Selain sebagai jurnalis, menurut Ririn, kawannya itu juga menjadi pendamping sosial di salah satu program pemerintah. Bos koleganya itu belakangan mengetahui keterlibatan anak buahnya dalam investigasi ini dan memintanya mundur.
Bukan cuma urusan mundur yang membuat Ririn kecewa. Sang kawan justru datang ke anggota DPRD tertuduh, meminta maaf dan membocorkan investigasi mereka. “Ada yang membocorkan temuan kami sebelum naskahnya terbit,” kata Rini menyesalkan situasi itu. Ririn sempat mengkonfirmasi informasi ini kepada kawannya itu. Sang kawan beralasan, dia takut dibunuh. Ririn tak terima dengan sikap koleganya itu.
Belakangan, sikap Ririn melunak. Sebagai sahabat, dia memahami ketakutan kawannya kehilangan pekerjaan. Apalagi, penghasilannya sebagai wartawan juga tak mampu menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Meski sahabatnya mundur, Ririn maju terus. Pimpinan redaksi Suara Banyu Urip mendukungnya agar segera menerbitkan hasil investigasinya. Ririn percaya, meski kadang sulit, jurnalis berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat tentang fakta-fakta yang tersembunyi, termasuk penyimpangan yang dilakukan pejabat dan otoritas kekuasaan.(*)