Berharap pada Reformasi Birokrasi

KITA bisa sedikit bernapas lega. Rabu, 12 Mei 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Komite Reformasi Birokrasi Nasional dalam upaya melanjutkan rencana pemerintah yang sejak dulu belum efektif. Yaitu, terciptanya birokrasi yang akuntabel, produktif, profesional, dan bebas korupsi.

Rasa lega kita itu mungkin hampir sama seperti rasa puas sementara kita sesaat mendengar pengumuman program lainnya seperti yang dilakukan presiden dan menteri sebelumnya sejak era reformasi. Hampir setiap menteri Kementerian Penertiban Aparatur Negara (Men PAN) atau Mendagri dilantik, sering dibarengi dengan rencana reformasi birokrasi.

Namun, setidaknya, kali ini, kita bisa berharap lebih banyak. Sebab, desain dan format reformasi birokrasi yang baru ini dilengkapi hal-hal dasar yang dibutuhkan. Yakni, siapa yang bertanggung jawab atas reformasi birokrasi, apa saja content (isi) reformasi birokrasi, bagaimana road map yang dikehendaki, bahkan sedang disusun indikator dan konsekuensi apa saja yang akan bisa ditanggung (oknum) atau lembaga pemerintah kalau tidak sesuai dengan aturan birokrasi yang baik.

A Necessary Evil
Tidak saja di Indonesia, di negara maju pun, birokrasi sering dikritik pedas. Birokrasi yang buruk digambarkan sebagai ''hantu buruk yang dibutuhkan'' atau ''a necessary evil''. Secara akademik, fungsi birokrasi dan aparatur negara adalah penyelesai masalah atau a world of solution. Namun, kenyataannya, birokrasi sering menjadi bagian dari sumber masalah atau source of problem. Dalam kaitan inilah, salah seorang Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen pernah berujar, birokrasi kita bukanlah penyesai masalah, mereka itu adalah masalah juga.

Dalam kadar tertentu, birokrasi Indonesia sering dijangkiti penyakit (patologi) birokrasi seperti korupsi, manipulasi, sikap boros, dan kesukaannya memelihara upacara. Mulai upacara peresmian, pencanangan dimulainya sesuatu program, serta kebiasaan upacara setiap Senin tanpa menemukan makna esensinya. Masalahnya, kalau sudah dimulai dengan seremonial, sebagian tujuan dianggap tercapai. Selain itu, upacara ulang tahun daerah dan acara seremonial dianggap sebagai kebutuhan pokok.

Secara garis besar, penampilan birokrasi di daerah kita, yang diharapkan membantu masyarakat untuk menyelesaikan beberapa keperluan dasarnya, gagal dipenuhi. Misalnya, sampai saat ini warga negara miskin dan tinggal di daerah terpencil sulit memperoleh hak-hak dasar seperti pendidikan murah, pelayanan kesehatan, serta jaminan hidup minimal bagi ''fakir miskin dan anak telantar'' sebagaimana diamanatkan pendiri negara.

Dalam kaitan inilah, Komite Reformasi Birokrasi harus menfokuskan diri dalam bekerja nanti. Apa yang telah digariskan presiden agar komite reformasi birokrasi nasional bisa berperan untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga negara akan sulit tercapai bila tiga masalah dasar, yaitu struktur, kultur, dan aparatur birokrasi, tidak dipaksa berbenah diri. Teorinya, komite akan bisa berhasil bila terdapat kehendak dari kalangan birokrasi sendiri untuk berbenah.

Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kelemahan birokrasi tidak hanya pada tataran strukturnya yang rigid, namun juga memiliki kelemahan proses serta kelemahan personel. Karena itu, orang sangat sulit memulai dari mana dan oleh siapa pembenahan mesti dimulai. Ketika suatu elemen birokrasi atau unsur non pemerintahan melakukan pembenahan, hal itu akan terdistorsi oleh kuatnya praktik buruk yang dilakukan secara sistemik.

Salah satu bentuk patologi birokrasi di negara-negara berkembang adalah adanya kecenderungan mengutamakan diri (self serving). Karena itu, kita lihat banyak pejabat birokrasi yang menaikkan gajinya di kala rakyat kelaparan dan sulit mendapatkan pekerjaan. Penyakit lain mempertahankan status quo dan resistan terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangan yang besar itu sering memanfaatkan untuk kepentingan sendiri.

Birokrasi yang Inovatif

Gejala modernisasi kehidupan, terutama di sektor pemerintahan, telah mengantar isu inovasi sebagai bagian integral dari usaha untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia. Dengan kata lain, tidak akan ada kemajuan tanpa inovasi, tidak akan ada inovasi tanpa pembaruan teknologi, cara kerja, dan optimalisasi sumber daya yang ada.

Pada kaitan pertama, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor yang terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Yang kedua bertumpu pada pandangan bahwa inovasi hanya bisa dilakukan jika organisasinya berubah, baik prosedur, struktur, maupun kulturnya. Yang ketiga adalah perpaduan antara faktor pertama dan kedua. Komite bisa mengusulkan tawaran-tawaran inovatif di berbagai lembaga pemerintahan di tingkat nasional, provinsi, sampai kabupaten dan desa.

Mike Davis, dalam tulisannya, menekankan bahwa untuk memulai birokrasi yang inovatif, disyaratkan perubahan yang konstan atau constant renewel dan fleksibilitas atau flexibilty. Dalam inovasi birokrasi, diperlukan inovator dalam organisasi. Dalam berinovasi, pimpinan birokrasi harus bisa menjadikan ide inovasi secara sistemik, menjelaskan secara runtut tujuan dan langkah, serta dan bagaimana proses adopsi ide tersebut akan dilaksanakan.

Selanjutnya, Davis menyatakan bahwa manajer birokrasi harus bisa melihat kesempatan, harus bisa menangkap dan menjelaskan kepada anggota organisasi untuk melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang baru itu akan bermanfaat bagi kemajuan organisasi.

Apa persyaratan yang harus dimiliki seorang pejabat agar bisa melakukan inovasi? Ada tiga bahan dasar kemampuan kepemimpinan. Yaitu, rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity), kejujuran penggagas (honesty), dan rasa ikut memiliki, andarbeni atau ownership. Tanpa tiga jiwa penting itu, tentu inovasi tidak akan bisa dilakukan dengan baik.

Pada masa lalu, birokrasi paling mengetahui banyak hal. Sekarang, birokrasi justru jauh ditinggalkan masyarakat yang lebih dulu memperoleh informasi, termasuk dunia usaha dan masyarakat profesional, karena kelambanan dan inefisiensi kerja birokrasi.

Perkembangan sosial politik terakhir di tanah air yang menjadikan geliat internal pemerintahan masih mengindikasikan bahwa kekuatan respons pemerintahan kita belum secepat yang diharapkan. Pada era yang disebut the era of openness and responsive government, era keterbukaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab ini, belum ditemui momentum yang tepat, bahkan tampaknya belum menemukan tim yang kuat, untuk melaksanakannya.

Tidak semua pemerintah berani dan mampu serta menyediakan diri untuk mengadopsi sistem pelayanan yang inovatif. Hanya pemerintah, pimpinan birokrasi, yang inovatif yang dengan gigih melaksanakannya. Diharapkan, kehadiran komite ini bisa menjadi jawaban bagi masa depan reformasi birokrasi kita. Semoga. (*)

Prof M. Mas'ud Said PhD, guru besar ilmu pemerintahan UMM, fungsionaris DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 17 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan