Berebut Emas di Tanah Sumbawa

Semangat menjunjung kepentingan nasional dalam kontrak karya antara Newmont Mining dengan Pemerintah Indonesia pada 1986 ternyata berbuntut kisruh. Bermula dari kisruh di Badan Arbitrase Internasional hingga ke persoalan siapa yang paling berhak atas divestasi terakhir sebesar 7% saham Newmont Nusa Tenggara (NNT).

Jauh sebelum perebutan ini, di tubuh pemerintah pusat sendiri terjadi perbedaan pendapat untuk divestasi tahun 2007–2008–2009 masingmasing sebesar 7%. Menkeu waktu itu, Sri Mulyani Indrawati, menghendaki pemerintah pusat membelinya. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro bersama dua menteri lain berbeda pendapat.

Dia menganggap divestasi ini adalah hak Pemerintah Provinsi NTB dan Pemkab Sumbawa Barat dan Sumbawa jika merujuk pada UU No 32/2004 dan No 33/2004. Menurut Menkeu, karena saat dibuat kontrak karya belum berlaku UU No 22/1999 jo 32/2004 tentang Pemda dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang berlaku adalah prinsip kekhususan (lex specialis derogat lex generalis).

“Yakni hak beli saham itu ada pada pusat,” ujar Presdir PT NNT Martiono Hadinoto. Tapi Menkeu kalah sehingga pemprov dan pemkab yang bekerja sama dengan Bumi Resources (kelompok usaha pertambangan Bakrie) bernama Multi Daerah Bersaing (MDB) memegang jumlah saham 24% (terdiri atas 10% untuk divestasi tahun 2006 dan 2007,ditambah 7% dan 7% yang masingmasing divestasi 2008 dan 2009).

Dengan demikian pada akhir 2009 struktur saham NNT adalah Newmont Mining bersama Sumitomo 56%, Pukuafu 20%, dan MDB 24%. Pukuafu kemudian melepas 2,2% kepada PT Indonesia Masbaga, entah dengan motif apa. Bisa saja ini merupakan transaksi penjualan saham biasa. Dalam praktik pada umumnya, penjualan seperti ini tetap memerlukan persetujuan pemegang saham lain.

Sementara 56% saham yang masih dikuasai Newmont bersama Sumitomo harus didivestasi lagi pada 2010 sebesar 7%. Lalu,kenapa setelah Menkeu dua kali gagal membeli saham NNT, perebutan antara pemerintah pusat dan Pemprov NTB bersama Pemkab Sumbawa dan Sumbawa Barat kembali mencuat hingga Komisi XI DPR bersitegang dengan Menkeu Agus Martowardojo?

Jawabannya sederhana. Struktur 56% saham NNT yang dipegang Newmont Indonesia Limited (NIL) dan Sumitomo adalah 55% milik NIL dan 45% milik Sumitomo. Dalam perjanjian pemegang saham disebutkan, selama NIL mempunyai jumlah saham yang lebih besar dari yang lain, maka NIL menentukan arah kebijakan penambangan dan berhak mempunyai jumlah kursi yang lebih banyak di kepengurusan (dewan komisaris dan dewan direksi).

Penjualan 7% dari 56% terakhir milik NNT kepada pihak Indonesia akan mengakibatkan NIL terdilusi, yakni menjadi 26,95% milik NIL dan 22,05% milik Sumitomo. Kepemilikan NIL hanya 26,95% inilah yang membuat pengendali Newmont di New York menjadi tidak nyaman. Bayangkan jika 7% dari divestasi terakhir itu kembali dibeli oleh MDB.

Akibatnya adalah MDB menjadi pemilik 31% saham NNT dan karenanya berposisi sebagai penentu arah kebijakan penambangan dan dominan di Dewan Direksi NNT. NIL dan Sumitomo harus tunduk pada kebijakan dan keputusan MDB. Sementara juga penting dipertanyakan, apakah dengan pemerintah pusat memiliki 7% saham NNT lantas pusat bisa memperoleh posisi di dewan direksi atau setidaknya di dewan komisaris?

Walaupun Menkeu menjawab ya untuk posisi seorang di dewan komisaris, biasanya posisi ini tidak signifikan. Yang jelas, beberapa kalangan menolak untuk memiliki 7% itu karena nyaris merupakan saham kosmetik, yaitu hanya berhak atas dividen, hak suara, hak hadir dalam RUPS.

Adapun untuk duduk dalam kepengurusan dan hak mengawasi secara langsung, termasuk mengawasi belanja barang modal serta pengawasan operasional, tergantung pada anggaran dasar perusahaan dan perjanjian pemegang saham. Atas dasar itulah NIL berkepentingan agar MDB tidak dominan.

Secara politis,karena pemerintah pusat acap kali tampil sebagai kepanjangan tangan pemodal asing, khususnya dari Negeri Paman Sam, maka pembelian 7% terakhir oleh pemerintah pusat dicurigai sebagai menjalankan kepentingan asing.Menkeu Agus Martowardojo menolak hal ini. Lalu malah muncul berita bahwa pembelian saham NNT oleh MDB justru dengan berutang dari CSB Singapura.

Juga muncul gugatan rakyat NTB kepada Men - keu. Menkeu pun tidak kalah gesit berpolitik. Dia menggalang opini dari kaum akademisi dan kalangan tertentu yang hasilnya membenarkan pemerintah pusat membeli saham 7% itu. Juga patut diingat orang adalah MDB yang 75% sahamnya dikuasai Bumi Resources melalui Bumi Mineral.

Sementara sebagian saham Bumi Resources sudah dimiliki Vallar Plc. Artinya, keuntungan dari saham di NNT untuk Bumi Resources dinikmati oleh Vallar yang notabene pemain keuangan bergengsi di bursa London. Ini menunjukkan perebutan saham NNT pun wujud keserakahan di antara pemodal asing di Indonesia, khususnya di tanah Sumbawa.

Adu Domba

Situasi ini menggambarkan, betapa mudahnya mengadu domba dan memecah belah atau bahkan menyuap para pihak domestik.Kelemahan utama pemerintah pusat adalah sekadar memberlakukan asas lex specialis derogat lex generalis. Sementara Pemprov NTB dan Pemkab Sumbawa tetap berpegang pada UU No 22/1999 jo No 32/2004 yang memang memberi kewenangan optimal kepada pemda.

Pemerintah pusat juga benar jika merujuk pada Pasal 41 UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun pemerintah pusat tidak menunjukkan analisis manfaat sosial kepada masyarakat NTB dan Sumbawa Barat khususnya atas pembelian itu. Menkeu Agus Martowardojo menyatakan bahwa nilai dividen yang akan diterima pemerintah pusat sampai dengan 2028 diperkirakan sebesar USD485,3juta.

Asumsinya adalah pembagian dividen hingga 2028 oleh NNT mencapai USD6,9 miliar.Tentu saja hal ini dengan memperhitungkan produksi emas,tembaga,dan perak dari Batu Hijau. Saya tidak berani menyebutkan jumlah pasti produksi itu karena saya tidak memperoleh data yang meyakinkan baik dari situs Newmont maupun dari pemberitaan.

Adapun potensi penerimaan lainnya adalah dari Blok Elang dengan prediksi yang lebih besar dari Batu Hijau. Mungkin inilah yang membuat pemerintah pusat berani membeli saham 7% itu senilai USD 246,8 juta.Yang menarik, pembelian itu dilakukan pemerintah pusat saat mereka membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur dan menegakkan kedaulatan pangan dan kedaulatan energi nasional.

Bahkan saking butuhnya akan pendanaan, pemerintah pusat menerbitkan surat utang dengan jumlah indikatif Rp5 triliun. Kondisi ini memberi kesan mendalam,pemerintah pusat tidak memiliki skala prioritas. Sisi lain, pemerintah pusat tidak bisa menolak fakta bahwa emas itu berada di Sumbawa. Keberadaan ini tunduk pada hukum: human existent depends on the property, the property depends on the land,sky, and on the sea.

Dari situasi yang memicu konflik pusat dan daerah serta berpotensi menurunkan kewibawaan pemerintah pusat terhadap daerah dan masyarakat, apa yang sebaiknya dilakukan? Karena prinsip negara kesatuan, maka sebaiknya pemerintah pusat melibatkan pemprov dan pemkab tanpa mengajak kelompok usaha Bakrie.

Strukturnya menjadi, misalnya, 1,5% pemerintah pusat, 1,5% Pemprov NTB, 2% Pemkab Sumbawa Barat, dan 2% Pemkab Sumbawa.Catatan terpenting lainnya adalah, pemerintah pusat dan pemda tidak boleh menjual saham itu kepada siapa pun dalam jangka waktu 5–10 tahun ke depan.

Jika pemerintah pusat mau menjual, sebagaimana layaknya kesepakatan di antara pemegang saham,para pemegang saham lain mempunyai hak istimewa mendapatkan penawaran lebih dulu. Dampak negatifnya? NNT tetap didominasi asing. Maka pemodal asing tertawa terbahak-bahak karena begitu mudahnya mempermainkan Indonesia.
DR ICHSANUDDIN NOORSY Ekonom, Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)  
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 10 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan