Bentuk Segera Badan Pengawas Rumah Sakit!
Senin 8 februari 2010 pukul 09.00 WIB, ICW bersama seorang pasien miskin mendatangi Kementerian Kesehatan. Di hadapan pejabat kementerian kesehatan dilakukan testimoni pasien miskin di ruang 311 Kementerian Kesehatan Jalan Rasuna Said. Testimoni ini terkait masalah pembiayaan rumah sakit. Seperti diketahui, saat ini telah berkembang solidaritas pembiayaan berobat dikalangan masyarakat. Disatu sisi ini adalah indikasi menarik namun di sisi lain hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjamin pembiayaan berobat bagi warga miskin. Berikut adalah press release ICW...
Mendesak Kementerian Kesehatan Membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit
Jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas sepertinya belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat miskin. Bukan menjadi solusi biaya pengobatan seperti yang menjadi tag ” Gratis” dari pemerintah. Aswanah seorang Ibu paruh baya menderita sakit mata akibat kecelakaan lemparan benda tak berdaya menyembuhkan sakitnya. Kartu Jamkesmas yang dimilikinya pun tidak bisa menolong. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang memasang tarif Rp 2 juta untuk operasi mata Bu Aswanah tersebut. Sayangnya, pihak RS mengatakan Jamkesmas hanya mendanai separohnya, yakni Rp 10 juta, sisanya meminta pasien miskin ini mengusahakannya jika ingin dioperasi. Hambatan biaya membuat warga miskin ini ditolak secara halus oleh RS untuk mendapatkan hak pelayanan kesehatan.
Senada dengan Ibu Amsiah. Vonis ada benjolan diperut oleh Puskesmas Kecamatan Sukamulya membawa dia ke RSUD Tangerang. Keberadaannya yang miskin dan tidak memiliki kartu Jamkesmas atau Jamkesda menuntutnya untuk mengurus semua syarat administrasi. Awalnya lancar, surat RT/RW, Rujukan puskesmas hingga Dinas Sosial. Syarat administrasi tinggal satu lagi yaitu keterangan dari Dinas Kesehatan. Namun untuk mendapatkannya, pasien harus masuk perawatan terlebih dahulu. Kekhawatiran besar muncul dari pasien, ketika harus masuk perawatan RS, maka mau tidak mau harus mengeluarkan uang muka terlebih dahulu (berdasar cerita dari warga lainnya yang mengalami). Akhirnya, hanya pasrah tidak melanjutkan proses itu. Kembali pulang, menahan sakit tanpa peawatan dan penggobatan.
Ditahun ketiga pelaksanaan Jamkesmas, seharusnya hal seperti diatas tidak lagi ada. Selama hperjalanan jamkesmas pun sepertinya tidak ada perbaikan yang signifikan. Masih adanya pasien yang ditolak hanya karena biaya atau syarat administrasi yang berbelit-belit. Rumah sakit cenderung mengedepankan perolehan (penghasilan) daripada pelayanan kepada pasien. Semua ini mengisyaratkan adanya “penyunatan” hak sehat bagi warga miskin.
Keberadaan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJSN) sesuai amanat UU No 40/2004 tentang SJSN sangat penting. Salah satu pemicu penolakan RS dengan alasan biaya besar kemungkinannya disebabkan oleh kekhawatiran pihak RS terkait aliran dana dari pemerintah. Jika dana tersedia besar, pemerintah akan mengucurkan, namun sebaliknya jika dana tidak ada (terbatas) , aliran dana ke rumah sakit tersendat. Peran Pemerintah (Kementrian Kesehatan) sebagai pembayar langsung dana Jamkesmas tidak sesuai dengan UU 40/2004.
Demikian pula dengan keberadaan Badan Pengawas Rumah Sakit. Amanat UU no 44/2009 tentang Rumah Sakit harus segera direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Pengawasan hak dan kewajiban pasien, menerima pengaduan pasien dan menyelesaikan sengketa pasien dan rumah sakit dengan mediasi adalah beberapa tugas dari badan pengawas ini.
Segera disahkan UU BPJSN dan dibentuknya Badan Pengawas Rumah Sakit adalah tuntutan kepada DPR dan Kementrian Kesehatan. Harapan menjadikan mayarakat mendapatkan hak sehatnya adalah cita-cita konstritusi. Tidak ada lagi diskriminasi, penolakan dan keluhan yang berujung kriminalisasi pasien. Menunggu tekad, kemauan pemerintah dengan segera untuk mewujudkan kesehatan untuk semua tanpa pandang bulu.
Jakarta, 8 Februari 2010
Indonesia Corruption Watch
1. Febri Hendri, Peneliti Senior (087877681261);
2. Ratna Kusumaningsih, Peneliti Korupsi Kesehatan (081390294533).
3. Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik (081289486486);