Bengkalai di Akhir Jabatan

Kepala Kepolisian Negara RI Bambang Hendarso Danuri memasuki masa pensiun pada Oktober ini dan akan segera digantikan Kepala Polri baru.

Masih banyak kasus yang terbengkalai meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak Selasa (31/8) meminta Kapolri segera menuntaskan kasus-kasus yang jadi perhatian publik. Kasus-kasus itu antara lain kasus mafia pajak yang melibatkan perwira polisi, rekening gendut perwira tinggi, belum terungkapnya penganiayaan aktivis ICW, dan berbagai persoalan intern yang cenderung ditutup-tutupi. Pekerjaan rumah lainnya adalah menangkap gerombolan penyerang Markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (22/9), yang menewaskan tiga anggota Polri.

Namun, permintaan penyelesaian kasus tampaknya tidak akan terpenuhi. Pembenahan internal yang diharapkan bisa sedikit menutupi kekecewaan publik menjelang akhir jabatan juga tidak direaksi positif. Dugaan keterlibatan jaksa Cyrus Sinaga dalam menangani kasus Gayus Tambunan yang diungkap terdakwa Komisaris Arafat dalam sidang juga tidak disentuh. Malah polisi berkilah bahwa itu urusan pengadilan sehingga ada kesan saling melindungi.

Publik bertanya-tanya, apakah karena Cyrus begitu berjasa menjebloskan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar ke penjara sehingga tidak tersentuh hukum?

Kurang berani
Satu kelemahan Kapolri selama ini adalah kurang berani membuat perubahan sistemik. Reformasi internal hanya sebatas ungkapan dan lebih sering digunakan untuk menangkis kritik publik atau mengalihkan isu. Akibatnya, fungsi dan tugas kepolisian pun tak mampu membangkitkan keberpihakan publik. Penyerangan warga ke Kantor Polsek Buol, Sulawesi Tengah, Selasa (31/8), karena menduga tahanan meninggal dianiaya polisi dan perusakan pos polisi lalu lintas di Tangerang, Banten, Jumat (24/9), karena sering menilang pengendara menunjukkan masih lemahnya konsep ”polisi sipil”.

Peluang untuk mengolah kritik publik menjadi gagasan yang mendorong roda reformasi juga terabaikan. Ini karena semua berpusat pada Kapolri, bahkan ada penanganan kasus yang langsung di bawah kendali Kapolri, seperti penyidikan Gayus dan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengabaian itu menjadi kelemahan substansial dalam penegakan hukum yang tentu saja berimbas pada profesionalitas polisi. Pola komunikasi internal yang sehat untuk menjembatani komunikasi antara atasan dan bawahan tidak berjalan. Kasus Susno yang membeberkan borok institusi di ruang publik juga tidak direspons positif sebagai pintu masuk bersih-bersih.

Dalam sidang Anggodo Widjojo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kapolri juga menuai kecaman publik karena penyidik tidak menghadirkan rekaman pembicaraan antara Ade Raharja dan Ary Muladi. Padahal, rekaman itu disebut-sebut ada dan disampaikan Kapolri di depan anggota Komisi III DPR.

Belakangan, rekaman pembicaraan ataupun data catatan panggilan telepon (call data record) dikatakan tak pernah ada sehingga Kapolri dituding oleh berbagai kalangan telah melakukan kebohongan kepada publik.

Warisan kasus
Pengamatan selama dua tahun terakhir, akuntabilitas kepolisian masih jauh dari harapan. Keborokan internal masil ditutup-tutupi. Kasus rekening gendut yang diselidiki sendiri sebagai contoh ternyata hasilnya juga tidak membawa pada perbaikan citra, tak ada rekening yang terkait mafia hukum.

Persoalan lain yang juga terkait kredibilitas adalah pergantian sejumlah jabatan yang dinilai banyak kalangan tanpa mempertimbangkan asas kepatutan. Mendekati akhir jabatan, Kapolri menempatkan sosok perwira dengan prestasi yang meragukan. Di antara perwira yang mendapat promosi, justru ada yang diduga memiliki rekening gendut dengan asal-usul mencurigakan. Tentu saja promosi itu patut dipertanyakan karena menyangkut sesuatu yang menurut hitungan publik tidak pantas, misalnya karena ingin balas budi.

Siapa pun Kapolri ke depan, ia harus mampu memahami hakikat reformasi agar tidak terus- menerus mengecewakan publik. Reformasi yang selama ini masih bertumpu pada pembenahan yang bersifat struktural dan instrumental harus dikembangkan ke pembenahan kultural agar ”polisi sipil” mendekati ideal. Ini termasuk pembenahan kultur pimpinan, seperti kesediaan menerima dan mengakui kelemahan. Tanpa itu, rakyat akan selalu curiga atas apa pun yang dilakukan polisi.

Situasi di tubuh Polri saat ini butuh sosok Kapolri yang memiliki jiwa kepemimpinan, punya rekam jejak yang bersih, dan berani melakukan perubahan secara mendasar dalam tubuh kepolisian kita. Apa boleh buat, Bambang Hendarso Danuri ternyata mewariskan kasus-kasus yang tidak mampu ia tuntaskan.

MARWAN MAS Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan