Bendera Putih Partai Demokrat

USAHA internal Partai Demokrat menghadirkan M Nazaruddin, mantan bendahara umum partai, tampaknya bakal pelik. Ketua Fraksi Partai Demokrat M Jafar Hafsah, menegaskan partai tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas menghadirkannya dalam proses hukum (SM, 14/6/11).
Tim bentukan partai yang datang ke Singapura tidak dirancang untuk menjemput. Kedatangan tim hanya untuk mengimbau agar mantan pengelola uang partai itu mau pulang ke Tanah Air.

Agaknya partai yang berada di bawah naungan SBY ini sudah menyerah kalah dalam usaha memulangkan kadernya yang diduga terkait tindak pidana korupsi. Akankah bendera putih tanda bertekuk lutut pantas dilemparkan ke Partai Demokrat? Pemandangan menyerah ini sangat berkebalikan dengan sikap awal partai ketika gonjang-ganjing berita Nazaruddin pergi ke Negeri Singa ramai diberitakan. Kala itu, pimpinan partai berjanji sekuat tenaga untuk memulangkan Nazaruddin. Tim penjemputan dibentuk tapi tak berselang lama, tim kembali dengan tangan kosong.
Hasil ini menjadi pertanda kuat bahwa kecil kemungkinan Nazaruddin mau balik ke Indonesia.

Kegagalan tim partai tersebut membujuk Nazaruddin agar pulang menciptakan kerugian yang amat besar. Potensi rendahnya perolehan suara partai pada pemilihan umum mendatang akan susah dihindari. Ketika dicopot dari jabatan struktural partai, Nazaruddin tidak dipecat sebagai kader partai. Pencopotan kader yang diduga terkait tindak pidana korupsi tanpa disertai pemecatan dari keanggotaan partai adalah sebuah blunder.

Artikel penulis, ”Risiko Blunder Partai Demokrat” (SM, 26/05/11) memberikan gambaran di mana letak blunder itu akan menimbulkan efek sangat serius terhadap elektabilitas (keterpilihan) partai pada Pemilu 2014. Yang lebih parah lagi publik akan bertanya lantang dengan menyangka, adakah Nazaruddin punya informasi mengenai kebobrokan partai sehingga ia tak dipecat? Pertanyaan ini secara tidak langsung memengaruhi pemilih ketika mencontreng di bilik suara.
Di samping potensi rendahnya perolehan suara partai, kegagalan tim partai memulangkan Nazaruddin, secara tidak langsung bakal mencoreng nama baik partai yang selama ini mengampanyekan sikap dan kebijakan antikorupsi. Citra bersih yang sudah dibangun lama, luluh lantak berantakan. Sebuah akibat yang seharusnya dihindari partai.

Katakanlah Partai Demokrat gagal memulangkan Nazaruddin. Tim kembali dengan tangan hampa dan bendera putih dikibarkan sebagai tanda menyerah. Akan tetapi, bendera putih tak boleh dikibarkan untuk kali kedua. Ada cara lain yang bisa dilakukan oleh petinggi partai untuk menghadirkan Nazaruddin.

Cara Lain
Jafar Hafsah, yang juga Ketua Departemen Kesejahteraan Rakyat DPP Partai Demokrat  menegaskan bahwa KPK-lah lembaga hukum yang mampu dan mempunyai alat, serta dijamin undang-undang untuk menghadirkan Nazaruddin (SM, 14/06/11). Dengan pernyataan ini, adalah wajib bagi pimpinan partai, khususnya tim yang pernah ke Singapura, membantu usaha pemberantasan tipikor.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur peran serta masyarakat dalam Bab V, Pasal 41 Ayat (1), bahwa masyarakat dapat berperan serta dan membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diperkuat kembali pada Pasal 41 Ayat (3), yakni masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab mencegah dan memberantas korupsi.

Tim yang dulu datang ke Singapura pasti mengetahui alamat sementara Nazaruddin. Pemberian informasi alamat tersebut akan membantu dan memudahkan KPK menjemputnya. KPK sudah memanggil Nazaruddin untuk dimintai keterangan dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang.

KPK juga memanggilnya terkait kasus revitalisasi sarana dan prasarana pendidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemendiknas tahun anggaran 2007. Atas dua panggilan itu, dia tak datang memenuhi
Terakhir, penting untuk menjaga bendera putih tidak dikibarkan lagi di hadapan Partai Demokrat, agar partai ini tetap di garda depan pemberantasan korupsi. Maka, tak ada kelirunya, pada saat KPK melayangkan panggilan kedua (SM, 15/06/11) maka fungsionaris partai seyogianya juga membantu KPK agar bisa memeriksa kadernya yang tersangkut dugaan korupsi, walau sekadar menginformasikan  alamat tinggal sementara Nazaruddin. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 16 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan