Belajar dari Kasus Nazaruddin

Melihat prosesi penangkapan Nazaruddin di Cartagena,Kolombia yang terpapar di berbagai media menyisakan pelajaran berharga bagi kita semua.

Selalu ada potret buram di balik kejahatan yang dilakukan para politisi partai politik, para diktator, para mafia, dan penjahat kerah putih lain. Skandal yang direncanakan secara sistematis, rapi, dan terorganisasi akhirnya terkuak dan menjadi bom yang memorak- porandakan seluruh karier dan kehormatan pelakunya.

Potret Buram
Kejahatan para politisi seolah tak ada habisnya. Sejarah pahit di ujung kehidupan para pelaku seolah kerap dilupakan. Seharusnya kita bisa mengambil pelajaran, betapa tragisnya nasib mantan Presiden Mesir Husni Mubarak. Lihat juga Ferdinand Marcos yang memerintah Filipina sejak 1965, jatuh pada Februari 1986.

Sejak itu dia bersama istrinya kabur ke pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Filipina, Clark, untuk kemudian diasingkan ke Hawaii. Zine Al-Abidine Ben Ali, yang memerintah Tunisia selama 23 tahun, dipaksa turun oleh aksi rakyat. Sejak 14 Januari 2011, Ben Ali yang sudah berusia 74 tahun melarikan diri ke Arab Saudi.

Kini dia sakit-sakitan dan sempat koma karena terkena stroke. Elegi para diktator juga lekat dengan cerita hidup Soeharto, Mobutu Sese Seko, Sani Abacha, Slobodan Melosevic, Jean Claude Duvalier, Alberto Fujimori, Pavlo Larazenko, ArnoldoAleman,Joseph Estrada,dan yang lain.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia pada 17 September 2007 menyebut nama mereka berbarengan dengan peluncuran program Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Para politisi Tanah Air pun tak pernah serius mengambil pelajaran.

Sejumlah anggota atau mantan anggota DPR, DPRD, mantan menteri, duta besar, pejabat kepolisian, jaksa, hingga hakim yang asalnya menyandang status pejabat terhormat berubah menjadi pesakitan yang diganjar hukum dan sumpah serapah masyarakat. Ibarat pepatah hilang satu tumbuh seribu, koruptor tak ada hentinya bermunculan di negeri ini.

Kejahatan korupsi politik tak hanya dilakukan sendirian, tapi juga berjamaah. Ketika satu kasus terkuak, satu ‘kompi’ penjahat didapat. Hanya saja, biasanya pengungkapan kasus korupsi politik seperti itu sangat jarang sampai pada Godfather-nya.

Narasi Nazaruddin
Nazaruddin adalah contoh aktual potret buram politisi muda Tanah Air.Sekarang usianya baru 33 tahun dengan karier politik prestisius yang secepat kilat direngkuhnya. Kita bisa membayangkan selepas lulus kuliah S-1 pada 2004, dia tak butuh waktu lama mengembangkan jejaring politiknya untuk masuk ke Senayan pada Pemilu 2009.

Jalan mulus melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan seolah tak menemui hambatan saat dia didaulat masuk jajaran teras kabinet Anas di Partai Demokrat. Tak mengherankan jika semuanya dia dapat, karena sepak terjangnya menginvestasikan gelontoran uang hasil kerja main proyek dengan memanfaatkan akses politik yang digenggamnya.

Kasus proyek Wisma Atlet SEA Games menjadi titik balik perjalanan seorang Nazaruddin. Dari orang penting di Senayan menjadi buronan. Dari pemegang akses logistik di berbagai pos proyek APBN menjadi daftar orang dicari Interpol.Dia harus pecah kongsi dengan Anas Urbaningrum yang dulu matimatian dibelanya.

Persahabatan mereka berubah total dari saling mendukung menjadi saling menelikung. Semua sahabat yang dulu menyemut karena dia punya gula-gula uang dan tempat menambang uang satu persatu meninggalkannya. Nazaruddin yang sekarang adalah Nazaruddin sang pesakitan.

Dia tersangka dan dihadirkan secara paksa setelah diburu di berbagai negara.Wajahnya menjadi “most wanted” masyarakat, persis para penjahat kelas kakap.Inilah drama penuh ironi yang ditonton dan dibaca rakyat Indonesia berbulan- bulan.

Yang penulis khawatirkan, terpaparnya alur cerita kejahatan Nazaruddin dengan segala bumbunya justru melahirkan disinhibitory effect. Menurut Bandura (2008),ini merupakan efek yang menyebabkan orang tidak malu untuk mengulang hal serupa.

Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi (2001) menggarisbawahi ada kemungkinan prilaku imitasi itu muncul melalui matcheddependent behavior. Artinya, individu belajar untuk menyamai tindakan orang lain melalui proses instrumental conditioning.

Ulasan media yang berlebihan, stimulus berita soal kekayaan yang didapat seorang koruptor dalam waktu sekejap, kemudahan Nazaruddin membalikkan keadaan di media dari label penjahat menjadi pion yang dikorbankan merupakan contoh-contoh pengondisian instrumental.

Dampaknya akan selalu ada khalayak yang terinspirasi melakukan kejahatan serupa di masa depan dengan pola dan modus hampir serupa, tetapi dengan strategi yang lebih sempurna. Kini Nazaruddin tak semata aktor, melainkan sudah menjadi narasi.

Karena itu, perlu kehati-hatian semua pihak terutama aparat penegak hukum dan media untuk tak menempatkan Nazaruddin dalam posisi sebagai stimulan praktik korupsi politik di masa mendatang. Jika penegak hukum lalai menegakkan keadilan dan kewibawaan dalam pemberantasan korupsi artinya sama dengan memupuk para calon koruptor hebat di kemudian hari.

Demikian pula, jika media menempatkan Nazaruddin bak selebritas, tak menutup kemungkinan banyak orang belajar agar esok atau lusa bisa seperti Nazaruddin.
GUN GUN HERYANTODirektur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 16 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan