Bau Kolusi Semakin Kuat; Pembeli Tanker Masih Terkait Konsultan Keuangan Pertamina [22/06/04]

Aroma tak sedap di balik penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) Pertamina semakin menyengat. Bukti-bukti dugaan adanya kolusi dalam penjualan dua kapal raksasa senilai USD 184 juta itu kian terungkap.

Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) Otto Geo Diwara P. membeberkan beberapa data yang menunjukkan kecenderungan adanya KKN dalam penjualan kapal itu. Sebab, selain penunjukan Goldman Sachs sebagai financial advisor (konsultan keuangan) yang tanpa melalui proses tender, Frontline Ltd ternyata merupakan penawar kedua tertinggi setelah Essar Shipping Ltd. Jelas sekali ada permainan dalam proses penentuan pemenang tender itu. Apalagi, ternyata Essar mengajukan penawaran lebih tinggi USD 4 juta dibandingkan Frontline, tegasnya.

Salinan dokumen surat penjelasan hasil shortlisted bidder yang diterima koran ini menyebutkan, Pertamina dan Goldman Sachs sebagai financial advisor telah mengirimkan undangan kepada 42 potential bidder. Surat yang ditandatangani Deputi Direktur Perbendaharaan dan Pendanaan Pertamina Andri Hidayat dan disampaikan kepada direksi Pertamina itu juga menyebutkan, hasil evaluasi yang dilakukan Goldman Sachs atas isi proposal yang disampaikan peserta tender, menghasilkan tiga besar finalis (shortlist).

Urutan tiga besar yang dimulai dari bobot penawaran tertinggi, yakni Essar Shipping Ltd dari India, kemudian Frontline Ltd yang berkedudukan di Kepulauan Bermuda, dan Overseas Shipholding Group Inc (OSG) yang berbasis di New York, AS.

Uniknya, Frontline Ltd sebagai perusahaan yang tercatat di bursa New York (New York Stock Exchange), London Stock Exchange , dan Oslo Stock Exchanges itu disebut-sebut juga dimiliki Goldman Sachs. Dari data New York Stock Exchange yang terpampang dalam website NYSE.com menyebutkan, pemegang saham Frontline Ltd per 31 Mei 2004 tercatat Goldman Sachs Intern Equity Nontreaty Cus memiliki 698.211 saham (0,95 persen), dan Goldman 679.572 saham (0,92 persen). Frontline sendiri saat ini mengoperasikan 43 unit VLCC.

Otto juga membeberkan dokumen yang menyebutkan bahwa Goldman Sachs merupakan salah satu pemegang saham Frontline Ltd. Dokumen yang kami peroleh menyebutkan, Goldman Sachs merupakan salah satu pemilik saham di Frontline, tegasnya saat dihubungi koran ini kemarin.

Dia mengungkapkan, surat persetujuan bidder yang ditandatangani Deputi Direktur Perbendaharaan dan Pendanaan Pertamina itu secara legal telah menunjukkan bahwa divestasi Pertamina berbau KKN. Masak financial advisor (penasihat keuangan) juga memiliki saham di Frontline yang merupakan salah satu bidder. Goldman Sach kan ditunjuk Pertamina sebagai financial advisor dalam divestasi tanker ini , terang Otto.

Namun, Dirut Pertamina Ariffi Nawawi menegaskan bahwa Frontline menjadi penawar tertinggi dalam tender tersebut. Penegasan itu disampaikan kepada wartawan setelah menjelaskan soal penjualan tanker tersebut kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Frontline merupakan penawar tertinggi, ujarnya singkat.

Mengenai pertemuannya dengan pimpinan KPK, Ariffi mengaku dirinya menjelaskan masalah penjualan tanker VLCC yang dinilai sebagai keputusan suatu perusahaan. Jadi, saya menjelaskan tentang hal itu agar tidak simpang siur, ungkapnya.

Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan, kedatangan Dirut Pertamina yang didampingi ketua tim Divestasi VLCC Pertamina itu bukan untuk diperiksa. Tapi, mereka datang ke KPK untuk memenuhi undangan KPK. Jadi, kedatangannya atas inisiatif mereka, jelasnya.

Menurut dia, penjelasan Ariffi dan Andri tidak banyak berbeda dari keterangan Direktur Keuangan Alfred Rohimoe yang juga menemui pimpinan KPK pekan lalu. Ariffi dan Andri membeberkan seputar latar belakang serta motivasi Pertamina mendivestasi kapal tanker yang masih dalam pengerjaan di Hyundai Heavy Industries (HHI), Korea Selatan, itu. Mereka banyak menjelaskan soal divestasi kapal tanker. Tapi, intinya, transaksi tersebut belum terlaksana, ungkapnya.

Menurut Erry, KPK masih berupaya bersikap netral. Yakni, belum menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dalam perkara tersebut dengan tiga alasan. Pertama, belum adanya indikasi korupsi, transaksi divestasi belum terjadi, dan belum adanya unsur kerugian negara. Direksi baru berencana mendivestasikan kapal tanker. Jadi, KPK sejauh ini belum menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi, tegas mantan Dirut PT Timah Tbk tersebut. Setelah Ariffi dan Andri, menurut Erry, KPK bakal mengundang jajaran direksi Pertamina yang lama, yakni Dirut Baihaki Hakim.

Tuntut Dibatalkan

Kini, upaya menghentikan penjualan tanker raksasa perusahaan Frontline Ltd yang bermarkas di Kepulauan Bermuda itu tak hanya muncul dari kalangan DPR dan Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI), tapi juga dari pemerintah.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie menilai, direksi Pertamina tidak mengemukakan alasan riil tentang penjualan dua VLCC yang dimenangkan Frontline Ltd tersebut. Saya tidak tahu alasan komisaris dan direksi Pertamina yang bersikukuh ingin menjual tanker tersebut. Direksi Pertamina tidak mengemukakan alasan yang riil dan sekadar memberikan gambaran, tegasnya di Jakarta kemarin.

Dia mengungkapkan, saat belum berubah status menjadi persero, direksi Pertamina yang saat itu dipimin Baihaki Hakim memutuskan membeli dua unit VLCC yang dipesan di Hyundai Heavy Industries (HHI), Korsel. Harganya disepakati USD 65,4 juta per unit. Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) menyetujui keputusan Baihaki tersebut.

Kwik mengungkapkan, dirinya juga ikut menyetujui rencana pembelian VLCC itu. Sebab, memiliki VLCC lebih menguntungkan dan lebih efisien dibandingkan sewa. Jadi, waktu itu DKPP melihat pembelian VLCC tersebut akan lebih efisien. Saya dulu ikut menyetujui karena memang efisien. Dan, saya percaya pada Baihaki Hakim. Mengingat, dia berpengalaman 14 tahun sebagai Dirut Caltex. Jadi, keputusan DPR saat ini dalam menolak penjualan itu sangat tepat. Mengingat, keputusan direksi dan komisaris sekarang sangat rancu, tegas matan anggota DKPP tersebut.

Dia mengaku heran terhadap keputusan komisaris dan direksi Pertamina untuk menjual VLCC itu. Padahal, pembelian dua VLCC tersebut sudah melalui perhitungan yang matang serta sudah disetujui DKPP dan pemerintah. Masalahnya kan keputusan untuk menjual itu tiba-tiba. Keputusan untuk menjual tanker itu tidak diikuti dengan alasan yang jelas. Tapi, saya tidak tahu apakah di balik ini ada permainan atau tidak. Yang pasti, saya tidak setuju dengan penjualan tanker tersebut, tegas Kwik.

Sementara itu, Wakil Presiden Hamzah Haz menegaskan, penjualan tanker raksasa milik Pertamina tersebut harus mendapatkan izin menteri keuangan (Menkeu). Namun, Hamzah yakin, para menteri sudah melakukan koordinasi atas penjualan tanker itu. Hamzah menegaskan, penjualan tanker Pertamina tersebut juga telah dibahas dalam pertemuan menteri di Bali. Penjualan VLCC itu sudah diserahkan kepada menteri terkait, yaitu Menkeu dan Men BUMN.

Memang benar, penjualan tanker itu harus lewat persetujuan menteri keuangan. Bagaimana teknisnya, saya kira menteri koordinator perekonomian yang akan mengoordinasi, jelasnya. Namun, dia mengingatkan, semua proses yang dilalui harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat mengetahuinya.

Menteri Keuangan Boediono menolak menanggapi penjualan VLCC yang disebut-sebut telah melanggar surat edaran Menkeu No.SE-25/MK/1994 tanggal 6 Juni 1994 itu. Meski demikian, menurut dia, perusahaan berwenang mengubah aset, asalkan tidak mengubah komposisi kepemilikan saham.

Saya tidak akan menjawab secara spesifik, tapi ada bidang-bidang di mana corporate bisa melaksanakan keputusan itu. Misalnya, untuk mengubah asetnya ke bentuk lain dalam konteks kepemilikan yang sama, menjual stok untuk pengelolaan korporat, jelas Boediono usai rapat paripurna pengesahan RUU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara di gedung DPR kemarin.

Dia menegaskan, jika aset yang dijual itu mengubah komposisi kepemilikan saham, tentu harus mendengarkan petunjuk pemilik saham. Kalau sudah menyangkut penjualan saham, menyangkut kepemilikan, itu lain lagi, ungkapnya.

Ditanya apakah Menkeu harus memberikan persetujuan terhadap perusahaan negara -seperti Pertamina- yang melepas asetnya dengan nilai hingga Rp 10 miliar, dia tak mau berkomentar.

Menurut hasil laporan kunjungan Komisi VIII DPR, kebijakan Pertamina menjual dua VLCC itu tergesa-gesa dan tidak transparan. Laporan yang disampaikan Ketua Sub-Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Saul de Ornay itu merekomendasikan untuk menolak penjualan VLCC. Komisi VIII juga menengarai kecenderungan terjadinya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam proses penjualan karena dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak transparan. (ton/yun/agm/ssk/pri)

Sumber: Jawa Pos, 22 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan