Batalkan Pembangunan Gedung Baru DPR

Tekanan publik yang bertubi-tubi, konsisten, tajam, serta aspiratif menolak pembangunan gedung baru DPR yang mewah tampaknya telah menyadarkan sebagian anggota dan pimpinan DPR. Akibatnya, DPR terbelah menjadi dua kubu: pertama, mereka yang ngotot dan membabi buta agar pembangunan diteruskan, sedangkan kelompok lain menyatakan dengan tegas tidak perlu dibangun gedung baru atau ditinjau kembali.

Rencana pembangunan gedung dengan biaya yang konon setara dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebanyak 22 juta penduduk miskin itu harus dibatalkan. Pertama-tama karena merupakan produk sindrom inkontinensi (incontinence) sebagian anggota lembaga perwakilan rakyat. Suatu gejala ketidakmampuan akal sehat seseorang mengontrol naluri dasar manusia yang cenderung mengumbar kenikmatan ragawi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai nilai kehidupan yang lebih tinggi.

Simtom tersebut tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui proses yang semakin lama semakin menguat. Dalam konteks ini, dapat disimak melalui kenyinyiran sebagian anggota parlemen yang selalu menuntut fasilitas untuk dirinya, mulai dari pengadaan mesin cuci dan AC, server senilai Rp 1,4 miliar, renovasi rumah jabatan sekitar Rp 400 miliar, pengadaan TV dan LCD ukuran 48 inci, laptop untuk setiap anggota DPR total seharga Rp 12 miliar, pembangunan pagar tinggi, keamanan superketat, dana aspirasi, dana pembangunan daerah pemilihan, rumah aspirasi, dan sebagainya.

Sindrom inilah yang mengakibatkan mereka bukan lagi kedap terhadap suara dan jeritan rakyat, mereka telah mati rasa. Oleh karena itu, daya empatinya juga sangat tumpul. Gelimang kemewahan yang selama ini dinikmati semakin meningkatkan ketidakmampuan mereka mengontrol naluri ketamakan dan keangkaramurkaan.

Oleh karena itu, alasan pembenar sembarangan dan tidak konsisten. Mulai dari gedung miring, kapasitas berlebihan, dan terakhir berdasarkan studi banding di negara lain, peningkatan sarana dan prasarana akan meningkatkan kualitas kelembagaan DPR (Kompas, 5 September 2010). Semua alasan sudah dipatahkan. Mengenai alasan terakhir, setidak-tidaknya mereka melakukan sesat pikir sebagai berikut. Pertama, argumentum ad verecundiam; logika sesat karena kesimpulan didasarkan pada keterpukauan terhadap sesuatu yang dikagumi oleh banyak orang. Contohnya, orang hebat minum serbat. Jadi, kalau orang mau hebat, cukup minum serbat. Logika tersebut sama sebangun dengan kesimpulan karena takjub dengan bangunan gedung parlemen di negara lain, maka agar kualitas kinerja DPR meningkat, hanya perlu membangun gedung mewah.

Kedua, post hoc ergo propter hoc; sesat pikir karena kekeliruan mengonstruksi logika sebab-akibat yang tidak masuk akal. Misalnya, di kota metropolitan banyak tempat ibadah, tetapi jumlah kejahatan juga melimpah, maka untuk menurunkan kejahatan, jumlah tempat ibadah harus dikurangi. Logika sesat tersebut sama sebangun dengan kesimpulan yang menyatakan, di negara-negara lain (di mana tingkat pelembagaan parlemen sudah kuat) gedung parlemennya mewah, maka untuk meningkatkan kualitas kinerja DPR, harus dibangun gedung DPR yang mewah. Padahal, tidak terdapat korelasi sebab-akibat antara pembangunan gedung mewah dan tingkat penguatan parlemen.

Selain itu, dalam perspektif waktu pembangunan juga sangat tidak tepat dan ironi. Pembangunan dilakukan di tengah kehidupan rakyat yang sulit serta kinerja DPR yang buruk, kredibilitas rendah, dan bertebaran skandal dugaan korupsi. Ditetapkannya 26 tersangka mantan dan anggota DPR penerima cek perjalanan bernilai miliaran rupiah juga tidak mampu mengerem niat untuk membangun gedung yang sangat diragukan manfaatnya bagi penguatan lembaga perwakilan rakyat itu.

Dari segala aspek, pembangunan gedung DPR supermewah hanya didasari argumentasi yang sangat rapuh. Melanjutkan pembangunan gedung hanya akan semakin menghancurkan dignitas, kredibilitas, dan martabat lembaga perwakilan rakyat. Tak ada lagi kemuliaan yang tersisa di lembaga yang seharusnya sangat terhormat itu.

Sebab itu, bagi anggota DPR yang menyatakan penolakannya, mereka jangan hanya berhenti pada retorika dan pencitraan agar mengesankan pembela rakyat. Mereka harus menggalang kekuatan sehingga cukup perkasa untuk melawan sementara anggota DPR yang memerkosa aspirasi masyarakat. Kalangan DPR yang telah menyatakan menolak pembangunan harus mampu menghasilkan kebijakan yang membatalkan pembangunan gedung yang hanya akan menjadi simbol keangkuhan wakil rakyat itu.

Memaksakan mewujudkan mimpi mempunyai gedung mewah hanya akan menjadi mimpi buruk rakyat yang diwakilinya. Semakin meyakinkan masyarakat bahwa yang mutlak perlu dibangun bukan gedung, melainkan penghuni gedung. Mereka harus dibangun mental, sensitivitas, empati, komitmen, serta integritas pribadinya sehingga pantas menyandang kehormatan wakil rakyat.

Mudah-mudahan, bagi sementara anggota DPR yang masih mencoba memaksakan kehendaknya, dapat diambil hikmah dalam bulan suci Ramadhan ini untuk merenungkan pilihan yang paling baik bagi rakyat yang diwakilinya. Opsi pembatalan adalah pilihan paling bijaksana. Kekeliruan melakukan sesat pikir tentu akan dimaafkan oleh rakyat, lebih- lebih tinggal beberapa hari lagi bulan yang penuh rahmat dan berkah ini untuk menuju saling memaafkan.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan