Bantahan Nazaruddin Kian Lemah

Bantahan Ketua KPU nonaktif Nazaruddin Sjamsuddin mengenai keterlibatannya dalam kasus suap terhadap auditor BPK, Khairiansyah Salman, kian melemah.

Kemarin, sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan terdakwa Pelaksana Harian Sekjen KPU Sussongko Suhardjo, Nazaruddin akhirnya mengakui pesan singkat (SMS) permintaan dana yang ia terima berasal anggota KPU Mulyana W Kusumah. Selain itu, Nazaruddin mengaku mengetahui dana yang dimaksudkan dalam SMS diperuntukkan untuk kepentingan ilegal KPU.

Pengakuan Nazaruddin itu menjawab cecaran pertanyaan dari jaksa Muhibbudin dan Chatarina Muljana. Muhibbudin menanyakan seputar kepentingan KPU untuk memberi uang kepada auditor BPK, termasuk mengenai sah atau tidaknya pemberian tersebut. Setelah menjawab berbelit-belit, Nazaruddin kemudian menjawab pendek, ''Tidak sah.''

Sedangkan jaksa Chatarina meminta agar Nazaruddin konsisten dengan keterangannya yang sudah tertulis di berita acara pemeriksaan (BAP). Menurut Chatarina, di BAP Nazaruddin mengakui meneruskan SMS Mulyana kepada Sussongko dengan bunyi 'Ini SMS Mulyana, kurang lebih isinya saya butuh dananya sekarang'.

Awalnya, Nazaruddin menyatakan tidak ingat pernah memberikan keterangan seperti tertulis di BAP. Tetapi, atas desakan jaksa, dia menjawab, ''Iya, saya koreksi. Saya ingat.''

Seperti diberitakan Media, pada Senin (25/7), sebagai saksi dalam persidangan dengan terdakwa Mulyana W Kusumah, Nazaruddin menyatakan tidak tahu-menahu siapa pemilik nomor yang mengirim SMS berisi permintaan dana itu. Meski tidak mengetahui pengirimnya, Nazaruddin kemudian meneruskan SMS itu kepada Sussongko.

Tetapi, Nazaruddin tetap mengatakan SMS yang dikirimnya ke Sussongko bukan sebagai bentuk perintah agar yang bersangkutan mengeluarkan dana. Menurut Nazaruddin, SMS itu ia maksudkan hanya sebagai bahan pertimbangan.

''Dengan kewenangan sebagai Ketua KPU, apakah saksi ikut bertanggung jawab (atas tindakan Sussongko mengeluarkan dana untuk Mulyana)?'' kejar Muhibbudin.

Nazaruddin lalu membenarkan ia ikut bertanggung jawab. Tetapi, tambahnya, keputusan itu sudah didelegasikan ke Pelaksana Harian Sekjen KPU itu.

Dalam persidangan yang dipimpin Mansyurdin Chaniago itu, Nazaruddin memaparkan prosedur pengeluaran dana operasional KPU, baik yang berasal dari APBN ataupun dari sumber-sumber lain. Untuk pengeluaran dana lebih kecil dari Rp50 juta, katanya, itu menjadi tanggung jawab Sekjen, sedangkan pengeluaran dana lebih besar dari Rp50 juta harus melalui pleno KPU.

Bantah
Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan tersebut, membantah keterangan Nazaruddin. ''Selama ini pengeluaran dana taktis (dana non-APBN) hanya dari sekjen dan wasekjen saja, tanpa melalui pleno KPU,'' katanya.

Selain itu, Hamdani juga mengaku menerima perintah dari Sussongko lewat telepon pada 4 April 2005, agar dia memberikan uang Rp100 juta kepada Mulyana saat itu juga.

Atas perintah tersebut, Hamdani kemudian mengeluarkan empat cek perjalanan, masing-masing sebesar Rp 25 juta, yang berasal dari PT Pos Indonesia, sebagai rekanan pengangkutan logistik pemilu.

Hamdani kemudian melaporkan pengeluaran dana tersebut kepada Sussongko pada 5 April 2005, juga lewat telepon. Menurut Hamdani, ini adalah satu-satunya perintah lisan Sussongko yang ia terima untuk mengeluarkan dana taktis KPU.

Sebelumnya, lanjut Hamdani, dia pernah beberapa kali mengeluarkan dana taktis dari rekanan KPU atas perintah Nazaruddin, salah satunya untuk kesejahteraan anggota KPU.

Ketika ditanya majelis hakim alasan Hamdani menerima dana taktis dari rekanan KPU, ia menjawab, ''Saya hanya diminta untuk menyimpan dana taktis atas permintaan langsung Ketua KPU.(CR-55/J-4)

Sumber: Media Indonesia, 28 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan