Bangkrutnya Demokrat

Nazarudin tidak lagi berada di Singapore. Ia tiba-tiba menghilang, untuk sembunyi dari proses hukum dan lari dari “kejaran” rekan-rekannya sesama Partai Demokrat.

Kasus Nazaruddin benar-benar menimbulkan tsunami politik di tubuh Partai Demokat. Betapa tidak, persoalan menjadi meluas. Bahkan saat ini seolah yang terjadi seolah saling buka aib. Oh aib! Akhirnya publik disuguhi tontonan saling baku hantam diatas ring partai biru.

Di titik ini hampir dipastikan, konsolidasi elit mereka gagal mencari titik temu dan jalan tengah. Ini agak menyimpang dari gejala jamak yang biasanya terjadi di tataran elit partai politik jika ada kader mereka yang terjerat kasus korupsi. Biasanya pertikaian akan diredam melalui negosisasi di internal mereka, hingga kemudian persoalan tidak masuk ke ranah hukum. Kalaupun ada yang diproses hukum, biasanya pemain kelas teri.

Beberapa petinggi partai sebenarnya sudah mengusahakan hal tersebut. Sikap defensif dengan selalu beralibi Nazarudin akan balik ke Indonesia jika sudah selesai berobat di Singapore, dapat dibaca sebagai “untuk mempertahankan yang bersangkutan”. Namun upaya itu menjadi kandas dan justru berbalik arah ketika Nazarudin membeberkan dugaan keterlibatan kader-kader Partai Demokrat seperti Andi Malarageng, Angelina Sondakh, Mirwan Amir hingga Anas Urbaningrum.

Pengalihan Isu
Ujung-ujungnya, Nazarudin dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik ke Mabes Polri 5 Juli lalu. Inilah buah dari gagalnya “negoisasi” diantara kader Partai Demokrat. Setidaknya ada dua hal tersirat yang dapat dibaca dari upaya hukum yang ditempuh oleh Anas Urbaningrum tersebut.

Pertama, patut dicurigai upaya untuk melaporkan balik Nazarudin ini bukan atas persoalan upaya mempertahankan nama baik semata. Namun, ada potensi untuk mengkapitalisasi isu baru untuk mengenyampingkan inti persoalan:  kasus suap yang melilit kader Demokrat, khususnya terkait dengan kasus suap Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga.

Kader Demokrat terlihat kewalahan dalam melayani isu yang menggelinding begitu cepat dan bertubi-tubi. Apalagi semenjak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) dalam kasus terkait sebanyak 109 transaksi. Tersebar di 13 Bank, dengan nilai transaksi tertinggi sebesar 187 Miliar. Praktis kader Demokrat semakin terdesak. Jadi, pengalihan isu menjadi salah satu strategi jangka pendek untuk meredam persoalan. 

Kedua, upaya melaporkan Nazaruddin dikhwatirkan sebagai sebuah modus untuk membungkam Nazarudin, agar tidak lagi “bernyayi”. Sulit terbantahkan, bahwa posisi Nazarudin sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat sangat sentral untuk mengetahui seluk beluk aliran dana partai: baik berupa sumber uang masuk, maupun dana-dana yang digunakan oleh rekan-rekan sesama kader.

Maka nyanyian Nazarudin, terlepas sumbang atau tidak patut untuk di dengar oleh penegak hukum. Sehingga kasus ini bisa dikembangkan lebih luas, bukan hanya sebagai korupsi individu atau perseorangan di tubuh parpol, melainkan juga adanya potensi korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh kader-kader lain di partai ini.

Wajarlah bila Nazarudin tiba-tiba menghilang. Ia tidak hanya merasa terancam dengan upaya hukum yang dilakukan oleh KPK terkait beberapa kasus yang sedang diproses di Institusi tersebut. Namun, potensi bahaya juga bisa muncul dari rekan satu bendera yang merasa terganggu dengan nyanyiannya.

Hampir dipastikan bahwa ia akan semakin sulit ditemukan, apalagi dibujuk secara sukarela untuk pulang ke tanah air. Akhirnya Nazarudin melanjutkan cerita pemburuan tersangka korupsi terdahulu, salah satu tentulah Nunun Nurbaeti.

Antiklimaks Demokrat.
Perlu di catat, bahwa sebagian besar partai-partai besar di negeri ini selalu terjebak dalam kubangan korupsi. Ambil contoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuanganyang disorot karena setidaknya 16 kader mereka terjerat kasus cek pelawat.

Demikian pula partai Golkar yang ikut terseret dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang diduga melibatkan perusahaan milik ketua umum mereka, Aburizal Bakrie.

Kebanyakan persoalan bisa muncul karena dua varian, yakni serangan politik dari kelompok-kelompok lain, maupun ulah dari kader-kader partai politik tersebut.

Konteks kasus yang melilit Demokrat saat ini lebih pada perangai dari kader-kader partai sendiri. Persoalan Nazaruddin hanyalah antiklimaks dari kritik luas publik selama ini kepada partai Demokrat yang seolah menjadi  tempat perlindungan bagi banyak tersangka korupsi.

Dalam catatan ICW, setidaknya ada lima Kader Demokrat di DPR yang terjerat kasus korupsi. Bahkan setidaknya juga ada sembilan kader Demokrat yang menjadi kepala daerah juga ikut terjerat kasus korupsi. Hal itu tentu belum termasuk kasus yang juga diduga melibatkan mantan anggota KPU, yang saat ini menjabat Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Demokat, Andi Nurpati dalam dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi.

Gurita persoalan ini semakin lengkap jika melihat memudarnya ikon Demokrat, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhyono dalam menerjemahkan setiap kata menjadi aksi konkret dalam pemberantasan korupsi. Kebijakan yang dibuat untuk melawan korupsi seolah-olah hanya macan di atas kertas saja.

ICW pernah mencatat, bahwa dalam satu tahun kepemimpinan Yudhoyono Jilid ke II ini, setidaknya 66 persen pernyataan antikorupsi SBY tidak teralisasi. Kasus-kasus besar yang tidak kunjung terungkap menjadi bukti disparitas antara ucapan dan kenyataan.

Apabila dianalogikan, persoalan Partai Demokrat sudah menjalar dari kepala hingga ujung kaki. Butuh operasi total untuk menyembukan persoalan tersebut. Salah satunya dengan membuang organ-organ yang menjadi sumber penyakit. Bagi Demokrat sendiri, sumber penyakit tersebut tidak ubahnya para kader yang bermasalah dengan proses hukum saat ini.

Di sisi lain, pola penyelesaian  masalah yang sedang dilakoni beberapa petinggi Demokrat saat ini, yang hanya sibuk memproduksi bantahan, tidaklah membantu.  Mereka seolah-olah menjadi pemadam kebakaran yang disbukkan untuk mematikan api demi api persoalan yang ditimbulkan oleh kader sendiri. Jika tidak berbenah diri dan hanya mengandalkan slogan kosong anti korupsi,”Katakan tidak pada korupsi”, maka kebangkrutan partai ini sudah di depan mata.
Oleh: Donal Fariz, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan