Bambang-Busyro Menunggu Fit and Proper Test di Senayan

Hindari Jebakan Beracun

KALANGAN aktivis antikorupsi cukup lega dengan pilihan panitia seleksi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas. Presiden juga telah mengirim nama dua calon itu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk diuji kelayakan dan kepatutan. Apresiasi publik pun positif karena keduanya dinilai paling pantas, memiliki catatan rekam jejak yang baik, dan relatif memiliki gap yang lumayan jauh dari pengaruh kekuasaan.

Bambang yang dikenal sebagai advokat berpengalaman, aktivis antikorupsi yang punya komitmen, serta pernah memimpin lembaga bantuan hukum di Papua dan Jakarta adalah reputasi yang mencuatkan harapan. Sementara itu, Busyro, selain sosok akademisi yang jujur, juga menjadi ketua Komisi Yudisial yang berani membongkar hakim koruptif yang selama ini menodai citra lembaga peradilan.

Meski demikian, keduanya tidak tanpa cela. Tentu ada kekurangan yang mesti dipahami selaku manusia. Siapa pun di antara keduanya yang dinyatakan layak oleh DPR tentulah sosok yang memang pantas memimpin lembaga pemberantas korupsi yang masih dipercaya rakyat. Namun, KPK tidak boleh hanya bergantung pada ketua baru, empat pimpinan lain harus bersinergi dan bekerja secara independen.

Jangan Melobi
Ketua KPK ke depan dipastikan sulit memerangi korupsi, jika tidak berani dan cerdas mengelaborasi masalah yang menjadi penyebab suburnya praktik korupsi. Termasuk, kemampuan untuk melepaskan diri dari berbagai jebakan yang dipasang para koruptor dan pendukungnya. KPK harus dipimpin sosok yang kuat karena yang akan dihadapi adalah orang-orang kuat, memiliki akses kekuasaan, dan berkantong tebal.

Berbagai jebakan seperti ''kompromi dan intervensi'' harus diwaspadai. Setidaknya dimulai saat menunggu pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan dengan tidak mendekati atau melobi fraksi-fraksi DPR hanya karena ingin mendapat dukungan. Cara itu sama saja dengan ''bunuh diri'' karena pada gilirannya tidak akan mampu melepaskan diri dari kepentingan politis. Biarlah uji kelayakan dan kepatutan kali ini betul-betul menghasilkan keputusan politik yang tidak mengandung jebakan beracun.

Begitu dilakukan, lobi sudah pasti akan ditangkap sebagai jalan untuk melakukan deal-deal politik yang sarat kepentingan. Kompromi harus ditutup rapat. Jika tidak, kasus-kasus korupsi yang terbengkalai seperti kasus Bank Century dan mafia pajak akan terus mengendap di ruang gelap. Kedua calon juga tidak perlu ragu dicecar pertanyaan anggota Komisi III DPR. Sebab, dari sanalah akan diketahui sebesar apa kemampuan sang calon.

Satu hal yang juga patut diapresiasi adalah pertanyaan apakah pemerintah tidak punya jagoan di antara keduanya yang bisa diajak kompromi atau setidaknya bisa sedikit kooperatif. Sebab, pemerintah dan fraksi pendukungnya di DPR memiliki kepentingan, terutama bagaimana mengamankan skandal Bank Century yang dianggap tidak ada masalah. Apalagi, sampai saat ini, KPK menegaskan belum menemukan bukti adanya unsur korupsi dalam kasus Bank Century.

Jika ketua KPK terpilih berani menyentuh kasus Bank Century atau yang dekat dengan kalangan istana, tentu itu merupakan bumerang bagi pemerintah. Begitu pula, kalangan DPR perlu diwaspadai lantaran beberapa anggota DPR sedang dibidik KPK. Semua itu bisa dijadikan jebakan, sehingga Bambang-Busyro harus berani menolak dukungan fraksi yang dilandasi kepentingan politis dengan tujuan melemahkan nyali sang calon.

Nyali Besar
Salah satu yang juga mencuat ke permukaan adalah masa jabatan ketua baru, apakah setahun saja karena hanya melanjutkan masa jabatan yang ditinggalkan ketua lama ataukah empat tahun. Fraksi-fraksi di DPR berpendapat, masa jabatan untuk Bambang atau Busyro hanya setahun saja karena posisinya hanya ''pengganti'' atau melanjutkan sisa jabatan ketua sebelumnya.

Masa jabatan pimpinan KPK diatur dalam pasal 34 UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Yakni, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Jika terjadi kekosongan, presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR (pasal 33 ayat 1). Dengan demikian, ketua KPK pengganti hanya melanjutkan masa jabatan yang tersisa dari ketua KPK sebelumnya, bukan empat tahun seperti pendapat pansel.

Sebaiknya, polemik masa jabatan tidak dipertajam karena bisa mengaburkan aspek yang substansial, yaitu memilih calon yang paling ideal. Malah bisa memicu pertarungan baru antara pemerintah (presiden) dan DPR. Yang penting saat ini adalah ''menyatukan persepsi'' bahwa keduanya akan diterima DPR dan memilih salah satunya. Sebab, beredar isu, segelintir anggota DPR menilai usul presiden bisa saja ditolak karena keduanya bukan yang ideal bagi mereka.

Saatnya sekarang memenangkan perang terhadap perilaku korupsi yang memang belum pernah kita menangi. Jabatan setahun bukan alasan untuk surut dari arena pertempuran. Jika nanti ketua terpilih mampu melaksanakan amanah, bisa dilanjutkan dengan syarat mengikuti proses yang diatur dalam UU KPK. Bila performanya baik dalam memimpin KPK, peluang untuk memperpanjang jabatan tentu terbuka lebar.

Jangan sampai polemik masa jabatan menghambat proses di DPR atau membuyarkan konsentrasi calon dalam mempersiapkan diri menghadapi gempuran pertanyaan anggota Komisi III DPR. Sebab, kerja KPK ke depan kian berat karena dituntut untuk melakukan perubahan secara sistemik untuk mengerem menjalarnya perilaku korupsi sampai ke daerah.

APBN dan APBD harus disterilkan dari tangan-tangan koruptor yang tidak hanya bergerilya di Jakarta, tapi juga tumbuh subur di daerah-daerah otonom. Karena itu, KPK butuh ketua yang punya nyali besar dan gagasan progresif untuk memburu tikus-tikus sampai ke daerah tanpa melupakan kasus besar yang selama ini masih mengendap.

Publik tidak ingin persoalan kecil menjadi besar. Sebab, boleh jadi itu merupakan bagian dari jebakan untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Kedua calon harus mampu menolak rayuan gombal dengan satu sikap ''tidak akan melakukan pendekatan kepada fraksi''. Silakan DPR memilih salah seorang di antaranya. Siapa pun yang terpilih, nilainya tetap sama. Yaitu, berani membongkar dan menangkap koruptor tanpa pandang bulu. (*)

Dr Marwan Mas SH MH, dosen ilmu hukum dan direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan