Asiah Uzia
Merdeka.com - Perempuan itu baru saja tiba di sebuah Warung Kopi (Warkop) di Banda Aceh. Dengan menggunakan sepeda motor, lalu ia menuju sebuah meja dengan menenteng sebungkus nasi di tangannya. Senyum ramah terpancar dari raut wajah wanita berkacamata ini. Lalu langsung memilih duduk di sebuah pojok warkop yang menyediakan kopi Arabika Gayo.
Saat itu jam menunjukkan pukul 15.30 WIB. Saking sibuknya, dia sampai telat makan siang. Maklum saja, ia sedang giat-giatnya mencari dukungan agar terpilih pada pemilu 9 April 2014 mendatang.
Asiah Uzia yang akrap disapa dengan Asiah, merupakan salah satu tokoh perempuan yang kritis dan berani melawan setiap kezaliman. Asiah dikenal oleh rekan-rekannya sosok yang selalu berani berbicara lantang membela hak-hak masyarakat korban Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh.
Wanita kelahiran 34 tahun lalu bukanlah pendatang baru dalam kancah perpolitikan di Aceh. Asam garam, pahit getir dunia politik telah ia lalui. Tapi yang membedakan dulunya ia menjadi aktivis ekstraparlementer sejak tahun 1998. Saat itu dia gencar menentang operasi militer di Aceh.
Lantas, melihat banyak fenomena krisis di Aceh saat itu, menggerakkan jiwanya untuk terus berada di garda terdepan. Miris hatinya tatkala melihat realita kekejian yang berlangsung di tanah rencong yang dilakukan oleh aparat keamanan saat itu.
"Saya melihat, harusnya aparat itu menjadi pelindung rakyat, tapi yang terjadi justru banyak melakukan kekerasan," kata Asiah Uzia saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (4/2).
Asiah berpikir, melakukan perjuangan ini tidak bisa hanya sendirian. Melawan kezaliman itu harus terorganisir dengan rapi dan membutuhkan banyak orang. Karena itu pada tahun 1999 ia memutuskan masuk ke salah satu organisasi mahasiswa yang dikenal militansi dan kritis yaitu Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR). Di organisasi ini ia ditempa ilmu politik dan semakin tajam analisis dalam melihat kondisi konflik di Aceh.
Selesai kuliah, bukan berarti ia berhenti melawan kezaliman. Darah juang yang terus mengalir dalam jiwanya. Dia terus berbuat sampai mengantarkannya bergabung dengan lembaga Kontras Aceh yang membela korban tindak kekerasan di Aceh.
"Saat itu mulanya saya staf investigasi di Kontras," jelasnya.
Aral melintang terus ia hadapi. Tak terkecuali mengancam jiwanya. Pada tahun 2001 ia sempat ditangkap oleh pihak keamanan di Tapaktuan, Aceh Selatan pada bulan Maret. Karena dia membongkar dugaan pemerkosaan dan mengadvokasi seorang perempuan yang diperkosa oleh pihak aparat keamanan. "Tapi karena sudah heboh, kawan-kawan di Banda Aceh langsung advokasi saya dan dilepaskan esok harinya," kisahnya.
Aparat keamanan saat itu semakin geram melihat dara kulit putih dan berperawakan kurus ini. Menjelang Aceh ditetapkan daerah Darurat Militer (DM) sekitar tahun 2003, kembali ia dicari oleh aparat keamanan.
"Waktu itu sempat didatangi kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) oleh aparat, mereka tanyakan Asiah dan Tarmizi yang mana," tukasnya. Dan dia pun harus dievakuasi ke Jakarta, kendati awalnya Asiah sempat menolak. Tetapi demi keselamatan jiwanya, dia terpaksa mengungsi keluar dari Aceh.
Di Jakarta bukan berarti dia tiarap. Ia tetap terus bekerja untuk mengkampanyekan konflik yang terjadi di Aceh. Lalu ia pun bergabung dengan Aceh Working Group (AWG).
Paska tsunami, Asiah terus berjuang membela korban HAM. Bahkan pada tahun 2005-2008 dia terpilih menjadi Koordinator lembaga Kontras Aceh. Setelah masa jabatannya berakhir, ia masih tetap mengabdikan dirinya untuk para korban HAM di Aceh.
Lalu ia berpikir, 10 tahun lebih ia berjuang secara ekstra parlementer. Ada banyak benturan-benturan yang dihadapi. Sulit untuk bisa mewujudkan ide-ide perubahan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat korban HAM dan juga hak-hak keadilan ekonomi, sosial, budaya perempuan.
Asiah pun memutuskan untuk terlibat dalam politik praktis. Selama ini dia hanya bicara di luar, memberikan saran dan kritikan. Kini ia ingin masuk ke dalam sistem untuk mengkritik langsung di dalam parlemen.
"Saya berpikir kemudian, kenapa tidak menjadi bagian dari pengambil kebijakan itu," imbuhnya.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ternyata niat tulus dia itu disambut positif oleh rekan-rekannya. Terutama rekan aktivis seangkatannya yang terlebih dahulu masuk dalam dunia politik praktis.
Lalu dia pun menjatuhkan pilihan untuk memilih partai lokal yaitu partai besutan mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Pilihan ini, mengingat ada orang yang memiliki seide dengan dirinya. Sehingga memutuskan bergabung dengan Partai Nasional Aceh (PNA) yang notabene juga ada mantan kombatan Gerakan Aceh Mereka (GAM) juga ikut bergabung.
"Di Partai Nasional Aceh itu ada banyak tokoh yang mencerahkan, makanya saya gabung ke situ," jelasnya.
Asiah kini menjadi Calon Legislatif (Caleg) untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh Dapil 1. Dia diberikan kepercayaan untuk menduduki nomor urut 3. Akankah idealismenya tetap terjaga di parlemen? Kita tunggu saja, good luck!