Antisipasi Konflik dan Money Politics

BUNGA demokrasi di tahun 2005 semakin semerbak. Betapa tidak? Pada tahun ini, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Hal ini merupakan bukti terpenuhinya (sebagian) tuntutan rakyat untuk memilih sendiri pemimpin daerahnya.

Akan tetapi, substansi pilkada langsung tampaknya belum menjadi mekanisme terciptanya sistem politik yang benar-benar demokratis. Kalau kita cermati, bibit-bibit permasalahan semakin tampak jelas. Ada beberapa permasalahan yang krusial dan harus segera diantisipasi.

Pertama, secara yuridis, pelaksanaan pilkada secara langsung masih menimbulkan pro-kontra. Meskipun konsepnya sama dengan pemilu, pilkada berbeda dengan pemilu. Pokok permasalahannya menyangkut peran KPU dan KPUD. Ada ketidaksinkronan pada aturan mainnya.

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menetapkan KPUD sebagai penyelenggara pilkada dan bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 ayat 1 dan 2). Di sisi lain, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menegaskan bahwa KPU Provinsi/Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan dengan KPU. Jadi, semestinya KPUD bertanggung jawab kepada KPU, tidak kepada DPRD.

Jika KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, peluang terjadi konflik politik dan konflik sosial semakin besar. Sebagai contoh, kalau ada calon kepala daerah yang dijagokan partai yang mempunyai kursi terbanyak di DPRD tidak lolos, maka mayoritas suara di DPRD sangat mungkin menolak pertanggungjawaban KPUD. Hal ini bisa menyebabkan chaos.

Kedua, calon-calon yang maju sangat mungkin didominasi oleh petinggi-petinggi partai politik. Memang bukan masalah jika setelah terpilih mereka (petinggi-petinggi parpol) bisa memosisikan diri sebagai milik masyarakat yang mendapat amanat rakyat, tidak memosisikan diri sebagai milik partai yang mengemban amanat partai. Tetapi, akan lebih baik lagi jika ada calon independen yang maju, tentunya mereka yang memiliki reputasi dan track record yang baik.

Ketiga, transparansi pendanaan dan logistik. Kita tahu, saat ini hampir semua institusi pemerintah mencantumkan pilkada sebagai bagian kerja institusinya. Selain itu, besarnya anggaran pilkada, sangat riskan terhadap penggelapan ke kantong pribadi. Di sini, mentalitas dan netralitas birokrasi ataupun penyelenggara diuji.

Keempat, terjadinya konflik di masyarakat bawah (grass roots). Sebagian masyarakat ada yang tidak mau berpartisipasi dalam pilkada karena menganggap pilkada tidak bisa mengubah kondisi. Mereka seringkali mengatakan: Siapa pun pemimpinnya, toh tukang becak ya tetap tukang becak, buruh ya tetap buruh, apa gunanya pilkada.

Akan tetapi, pilkada secara langsung memungkinkan terjadinya dukung-mendukung terhadap calon secara fanatik. Ketidakpedulian maupun kefanatikan berpotensi memicu konflik. Terlebih lagi, jika ada calon yang melakukan black campaigne (kampanye hitam) untuk menjelek-jelakkan dan menjatuhkan lawannya. Konflik tersebut dapat meluas menjadi konflik laten (agama, suku, golongan, kelas sosial, dan lain-lain) yang berbahaya.

Kelima, terjadinya money politics. Money politics dalam pilkada secara langsung memang tidak seriskan pilkada melalui parlemen. Akan tetapi, bukan mustahil, pilkada besok penuh dengan money politics, mengingat pemilih dan yang dipilih berada dalam satu daerah (berbeda dengan pemilihan presiden/wakil presiden yang jangkauan wilayahnya adalah negara).

Kalaupun tidak ada money politics secara langsung, kontrak iklan di media massa juga dapat dikatakan sebagai money politics. Mengapa? Karena media massa adalah salah satu alat pembentukan opini, dan mereka yang beriklan adalah mereka yang punya uang. Kalau uang sudah bicara, ketika terpilih pun orientasi pertamanya adalah uang.

Peran Mahasiswa
Dari berbagai permasalahan di atas, perlu adanya antisipasi dini untuk menyukseskan pilkada. Mengenai permasalahan yuridis yang masih timpang, pemerintah dan KPUD tentunya harus terus menggodok aturan main dengan sungguh-sungguh dan segera menyosialisasikan sampai ke tataran bawah. Mahasiswa dalam hal ini dapat berperan membantu mensosialisasikan aturan main tersebut kepada masyarakat, utamanya warga pedesaan terdekat, baik secara formal (bekerja sama dengan perangkat desa dan Pemuda Karang Taruna), maupun secara informal dalam perbincangan sehari-hari dengan masyarakat.

Upaya antisipasi konflik di grass roots dapat diperankan oleh mahasiswa dengan cara melakukan penyadaran kepada masyarakat. Melalui acara-acara keagamaan kita dapat menyisipkan materi tentang pentingnya menjaga tali silaturahmi dan menjauhkan diri dari perpecahan. Penyadaran tentang arti pentingnya demokrasi pun perlu dilakukan agar masyarakat bawah tahu bahwa demokrasi tidak boleh terkotori oleh egoisme dan arogansi. Demokrasi harus disemai dengan saling pengertian dan kasih sayang.

Mahasiswa dalam mengantisipasi terjadinya money politics dapat menggunakan LSM-LSM dan membentuk media informasi di daerahnya masing-masing. Ingat, opini publik terbentuk karena adanya informasi yang masuk. Kalau informasi yang masuk hanya dari para calon kepala daerah, tentu akan timpang (bahkan menyesatkan). Untuk itulah, mahasiswa harus melakukan penyeimbangan informasi. Sebagai mahasiswa, kita memiliki kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat. Apa yang disuarakan mahasiswa sangat mudah diterima masyarakat. Oleh karena itu, kita harus benar-benar berkonsentrasi membangun forum-forum/diskusi-diskusi kritis guna membahas perkembangan pilkada.

Dengan demikian, mahasiswa sebagai agent of change diharapkan menjadi pelopor penegak demokrasi di negeri ini. Ingat, mahasiswa adalah bagian dari rakyat! Suara mahasiswa (seharusnya) adalah suara rakyat! (Giyato, Mahasiswa FKIP UNS Surakarta)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 10 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan