Antara Kemiskinan dan Korupsi

Para ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit kembali melancarkan gugatan tajam terhadap kinerja pemerintahan. Pesannya singkat, pemerintah makin tidak peka terhadap penderitaan rakyat miskin. Ilustrasinya pemerintah telah menjadi 'monster' yang mengisap lebih banyak uang dari rakyat.

Sebagaimana tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak periode 2005 - 2009 dari 11,6% menjadi 13,6% dari PDB. Sementara belanja rutin, dalam periode yang sama, justru mengalami penurunan dari 6,90% menjadi 5,80%.

Mengapa pemerintah tidak secara eksplisit mengatakan, peningkatan target penerimaan pajak sebesar 2% tersebut akan didapat dari efisiensi penerimaan pajak yang selama ini banyak disoroti mengalami kebocoran di sana-sini? Kita sangat menanti keberanian pemerintah untuk mencari terobosan baru dalam kebijakannya, bukan hanya selalu bertumpu pada pola konvensional seperti yang kita saksikan selama ini.

Meski begitu, harus diakui skema anggaran pemerintah yang cenderung kontraktif terkait langsung dengan kondisi keuangan negara yang sedang kedodoran. Akibatnya, tak sanggup menjadi stimulus pembangunan. Sayangnya, tipisnya keuangan negara tidak diimbangi dengan penanganan dengan cara-cara yang tidak biasa. Pemerintah masih bersikap business as usual alias biasa-biasa saja.

Supaya tidak terjebak dalam dikotomi pemerintah dan nonpemerintah, ada baiknya kita menemukan titik perhatian dan kepentingan yang sama (common interest). Baik Tim Kabinet Pemerintah maupun Tim Indonesia Bangkit, keduanya memiliki perhatian yang sama terhadap masalah kemiskinan. Dan dalam rangka mengatasi kemiskinan tersebut, dibutuhkan peranti kebijakan yang bersih dari korupsi.

Pada hakikatnya, ada hubungan baik secara langsung maupun tidak, antara korupsi dan kemiskinan. Dalam kasus inefisiensi pengumpulan pajak, hubungan korupsi dan kemiskinan terjadi secara langsung. Inefisiensi pajak sebesar Rp40 triliun merupakan pemangkasan hak rakyat miskin terhadap fasilitas yang mestinya bisa disediakan.

Secara tidak langsung, korupsi telah menggerogoti daya saing perekonomian kita. Bank Dunia menunjukkan, untuk menembus birokrasi di Indonesia diperlukan biaya lebih dari 20% dari total penjualan. Sebuah angka yang menakutkan bagi para pelaku bisnis. Hanya bisnis yang tingkat keuntungannya melebihi angka itu berani masuk ke Indonesia.

Dalam hal pengurusan izin berusaha, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan urusan administrasi sekitar 150 hari. Sebagai bahan bandingan, di Filipina hanya perlu 50 hari saja, sedangkan di Singapura tidak lebih dari 5-10 hari. Betapa perilaku tidak efisien yang riskan terhadap korupsi telah membuat iklim investasi kita sangat tidak kompetitif.

Padahal, untuk mengatasi kemiskinan dibutuhkan tingkat investasi yang tinggi. Bahkan dengan proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6% di tahun 2005 ini, tingkat pengangguran terbuka masih sangat tinggi, yaitu sekitar 9%. Dan lagi, pengangguran tidak identik dengan kemiskinan. Di tahun 2005, diperkirakan jumlah penduduk yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan, menurut ukuran Bank Dunia 2$/hari, masih sebesar 49,5% dari total penduduk.

Jelaslah, korupsi memberikan kontribusi penting bagi pelanggengan tingkat kemiskinan. Dengan demikian, kritik terhadap pola kebijakan pemerintah yang tidak memihak kelompok miskin juga harus dialamatkan kepada kebijakan pemberantasan korupsi. Menanggulangi kemiskinan tanpa memberantas korupsi tidak mungkin terjadi.

Esensi gugatan Tim Indonesia Bangkit telak pada dua perkara sentral sekaligus : kemiskinan dan korupsi. Meskipun demikian, mekanismenya tidak sedemikian sederhana. Tidak serta-merta APBN yang tidak memberi stimulus pada ekspansi ekonomi adalah keliru. Namun, patut digugat sikap lamban pemerintah dalam menangani inefisiensi yang menggerogoti daya saing ekonomi kita.

Jeffrey D Sachs, Direktur Earth Institute dan juga penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, menegaskan, korupsi adalah penghambat penting dalam pemberantasan kemiskinan di Asia. Secara lebih luas, dalam bukunya yang sangat berpengaruh, The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time, Sachs menjelaskan bahwa kemiskinan bisa dihapuskan pada tahun 2025 dengan cara-cara yang tidak konvensional (heterodox).

Agenda aksi yang disusun oleh PBB dalam pengurangan angka kemiskinan di dunia tertuang dalam Millienium Development Goals (MDGs). Dokumen ini berisi agenda aksi, seperti alokasi 0,7% PDB dari para negara donor untuk program bantuan terhadap pembangunan (official development assistence). Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung program investasi di bidang yang terkait secara langsung dengan kepentingan masyarakat miskin, seperti pangan, kesehatan dan pendidikan.

Sachs juga mengkritik semunya kriteria yang ditetapkan oleh lembaga dunia seperti IMF dan Bank Dunia dengan hanya mengukur kinerja makro ekonomi, tanpa menangkap fenomena kemiskinan dalam realitas kehidupan. Melalui cara-cara yang tidak biasa, dia mengajukan program ambisius untuk mengurangi kemiskinan dunia.

Terkait dengan masalah kita, ada dua esensi yang bisa ditangkap. Pertama, penghapusan kemiskinan tidak mungkin dilakukan tanpa menggerakkan roda investasi. Program sosial, bantuan dan subsidi langsung hanya bersifat darurat (emergency), sementara untuk memecahkan masalah kemiskinan secara berkelanjutan, diperlukan pola investasi yang terarah langsung dengan kepentingan masyarakat miskin.

Kedua, baik kemiskinan maupun korupsi hanya bisa dipecahkan dengan cara-cara yang tidak biasa. Fenomena pemberantasan korupsi dengan cara tidak biasa sudah dibuktikan melalui kerja sama antara staf Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU) dalam kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sayangnya, kemajuan ini hanyalah improvisasi dan inisiatif pribadi yang bahkan sempat dikecam oleh atasannya. Andai saja, cara-cara tidak biasa ini diinstitusionalisasi, maka sangat mungkin bisa meredam gejolak korupsi yang kian merajalela.

Jika cara-cara tidak biasa dalam pemberantasan korupsi makin bisa digalakkan, bisa jadi niat para pelaku korupsi akan teredam. Akan terjadi perilaku pembalikan sikap (adverse selection) dalam arti yang positif, yaitu mengurungkan niat untuk korupsi karena tahu ada risiko yang besar akan diungkap melalui cara-cara tidak biasa tadi.

Begitupun mengenai pemberantasan kemiskinan, pemerintah masih terpaku pada cara-cara konvensional, seperti pemberian subsidi langsung, pemberian kredit dan pelayanan sosial. Masih menurut Sachs, Selama ini privatisasi sering dijadikan alasan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menambah keuangan negara, untuk selanjutnya digunakan sebagai program pemberantasan kemiskinan.(A Prasetyantoko: Departemen Ekonomi Ecole Normale Superieure, Prancis)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 27 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan