Anggaran Pertahanan dan Kesejahteraan Prajurit

Berapa gaji sebulan seorang sersan kepala (serka) dengan jabatan komandan peleton bermasa kerja 16 tahun, tanggungan keluarga satu istri dan dua anak? Rp 1.152.500 plus uang lauk-pauk Rp 542.500. Cukupkah? Tidak!

Selain gaji, masih mendapat bingkisan Lebaran setahun sekali yang jenis dan jumlahnya berubah-ubah. Jika dikalkulasi, rata- rata bingkisan Lebaran bernilai nominal Rp. 60.000, uang rinso setahun sekali yang tidak tentu diterimanya, Rp 15.000.

Gambaran itu menunjukkan kondisi obyektif prajurit sebelum kita meletakkannya dalam pembicaraan lebih besar: soal anggaran pertahanan dan kesejahteraan prajurit.

Kesejahteraan prajurit

Masalah kesejahteraan prajurit selalu dimunculkan pada dua isu. Pertama, yang berkait minimnya anggaran pertahanan TNI; kedua kompensasi bisnis militer. Keduanya menunjukkan minimnya kesejahteraan prajurit yang patut mendapat perhatian negara karena berpengaruh pada perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan. Apalagi hal itu diakomodasi dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang No 34/2004 tentang Kesejahteraan Prajurit.

Isu kesejahteraan prajurit bukan hal baru. Tetapi, mengapa hal ini tidak pernah menjadi pembicaraan serius? Setidaknya ada tiga hal yang diduga memengaruhi kondisi itu.

Pertama, frasa kesejahteraan prajurit menjadi kontra produktif dengan maksud sebenarnya, mengingat mind set sipil terhadap hal-hal yang berhubungan dengan anggaran dan bisnis TNI buruk adanya. Di Indonesia, seperti di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, soal kontrol atas pembiayaan pertahanan menjadi persoalan yang membutuhkan penyelesaian segera.

Hingga kini tentara diyakini mendapat sumber pembiayaan dari luar anggaran (off-budget) yang legalitasnya kerap menjadi kontroversi di masyarakat. Munculnya beberapa kasus mulai ruwetnya pembelian alutsista, belum transparannya penyelesaian bisnis militer, tidak akuntabelnya anggaran dan bisnis yang dikelola TNI membuat penolakan sipil atas tiap usaha yang ingin menaikkan anggaran pertahanan.

Secara umum, hal itu hanya bisa dieliminasi melalui kontrol atas pembiayaan yang hanya dapat diwujudkan secara efektif jika negara, melalui anggaran pemerintah yang tertuang dalam APBN, merupakan satu-satunya sumber pembiayaan pertahanan.

Kedua, selama ini anggaran pertahanan bukan dilihat sebagai public goods yang normal. Ia selalu dihadapkan dengan anggaran pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang dianggap langsung menyentuh kebutuhan publik. Padahal masalah pertahanan dan keamanan negara merupakan persoalan amat penting. Ia harus dimasukkan dalam kategori public goods, dan peran negara untuk mengintervensi kategori itu.

Hal ini bisa dilakukan dengan prasyarat tertentu. Pemerintah dan negara harus menyediakan sistem penganggaran dan payung hukum yang transparan dan akuntabel sesuai kaidah sistem penganggaran nasional. Struktur Program dan Anggaran Pertahanan Negara (SPA Hanneg) yang ada selama ini belum memadai untuk merespons kebutuhan itu. Misalnya sistem otorisasi dan anggaran yang mengacu sistem komando, merupakan sistem pengelolaan keuangan yang panjang (lima tingkat) dari tingkat satker (melalui pekas) sampai tingkat departemen (Dirjen Rensishan).

Sistem otorisasi dan anggaran tidak menunjang penyediaan dana bagi program, kegiatan, dan dari sudut efisiensi waktu maupun ringkasnya arus birokrasi.

Hal ini bertentangan dengan tujuan dibentuknya badan-badan keuangan tersendiri di lingkungan TNI yang tujuannya memberi layanan keuangan yang cepat, tepat, dan menjamin kerahasiaan pelaksanaan tugas.

Praktik anggaran (budgetary process) yang ada kini menunjukkan adanya dualisme kewenangan antara Departemen Pertahanan (Menteri Pertahanan) dan Markas Besar TNI (Panglima). Padahal, menurut ketentuan perundangan-undangan, misalnya UU Nomor 3/2002, seharusnya Panglima [hanya] berwenang menggunakan kekuatan militer (Pasal 18 Ayat 2). Sebaliknya, Menhan merupakan representasi pemegang otoritas politik. Menhan berwenang menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen kekuatan pertahanan lainnya (Pasal 16 Ayat 6).

Indikator kuantitatif

Ketiga, indikator yang lebih sering dirujuk tentang minimnya anggaran pertahanan hanya terbatas indikator kuantitatif, seperti berapa besar anggaran yang digunakan, jumlah personel, maupun program yang terlaksana. Tidak ada ukuran kualitatif yang disepakati, misalnya dari segi, pertama, adekuasi sistem pertahanan guna menghadapi tantangan dan ancaman; kedua, bagaimana proses itu membawa konsekuensi biaya lebih besar dari segi waktu pelaksanaan dan/atau kepatuhan prajurit pada disiplin tentara. Akibatnya, tidak diketahuinya incentive for reform di lingkungan pertahanan, baik bagi negara, pemerintah, maupun di lingkungan TNI sendiri.

Dengan menyelesaikan masalah itu lebih dulu, persoalan kenaikan anggaran pertahanan yang sebagian ditujukan kepada kesejahteraan prajurit akan lebih mudah dilakukan. Karena kebutuhan itu berdasar planning, programming, budgetting yang jelas, sistem penganggaran yang transparan dan akuntabel yang meletakkan APBN sebagai satu- satunya sumber pembiayaan pertahanan. Dan tetap berdasarkan kemampuan ekonomi negara. Dirgahayu TNI!

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI dan Dewan Penasihat The Indonesian Institute

Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan