Agenda Penting Kandidat Kapolri

KAPOLRI Jenderal Bambang Hendarso Danuri akan meletakkan jabatan pada Oktober 2010. Seiring dengan akan habisnya masa jabatan Kapolri ini, ''uji kelayakan" terhadap sosok kandidat Kapolri mendatang secara tidak langsung telah bergulir. Komisi III DPR (bidang hukum) gencar melacak dan mempertanyakan transparansi rekening para kandidat (Jawa Pos, 20 Juli 2010).

Memang kandidat Kapolri sekarang wajib diuji secara cermat. Pasalnya, agenda yang akan dihadapi Kapolri mendatang tidaklah sedikit. Uji kepatutan yang bersubstansi moral, intelektualitas, jenjang karir, dan sebagainya merupakan unsur atau parameter yang menentukan.

Ada beberapa alasan yang mendasari itu. Pertama, seiring dengan gencarnya gugatan moral yang dialamatkan kepada Polri sekarang, minimal dikaitkan dengan ''rekening gendut", maka sudah seharusnya kandidat Kapolri benar-benar steril atau terbebas dari keterlibatan memiliki rekening yang tak wajar.

Kandidat Kapolri tidak perlu dan tidak sepantasnya berapologi bahwa uang atau barang berharga yang dimiliki bukan permintaan, tetapi pemberian sukerala. Sebab, pemberian demikian tetaplah sebagai beban moral yang  bisa ''mengeksaminasi" dan mengooptasi kemandirian Polri.

Polri tidak akan bisa menjalankan tugasnya secara inklusif, egaliter, atau berorientasi kepada prinsip justice for all (keadilan untuk semua) kalau sebelum atau saat menjabat sudah menerima pemberian dari pihak-pihak yang bermasalah secara hukum.  Pihak yang bermasalah itu memang terkadang tidak secara langsung sebagai objek perkara. Tetapi, tidak sedikit di antara mereka yang bersaudara dengan seseorang atau korporasi yang sedang bermasalah secara hukum.

Tampaknya, kandidat Kapolri perlu belajar kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sosok penguasa yang dikenal sangat zahid (sederhana/tidak cinta dunia secara berlebihan) itu.  Begitu dia dilantik sebagai khalifah, banyak di antara pengusaha atau kalangan pemodal kuat yang  memberikan hadiah sebagai bukti ucapan selamat. Namun, semua hadiah tersebut dikembalikan sambil berujar, ''Meski pendahuluku pernah menerima hadiah, aku tidak mau menerima karena khawatir kalau hadiah yang kuterima ini akan menjadi beban berat yang membuat aku gagal menjalankan amanat."

Yang dilakukan Umar itu dapat dijadikan sebagai teladan moral bahwa opsi penolakan yang ditunjukkan merupakan wujud gerakan spiritualisasi atau sufisme kekuasaan dini yang bercorak melawan segala bentuk tekanan, godaan, atau pola perkoncoan yang bermaksud  mengalahkan, menjinakkan, serta merampas kemerdekaan nurani dan nilai-nilai agung.

Kalau kandidat Kapolri mendatang mempunyai integritas moral seperti itu, rasanya, tidak perlu ditakutkan akan terjadi peristiwa memilukan seperti beredarnya rekening gendut. Kekuatan elite ekonomi atau konglomerat tidak akan bereksperimen untuk memengaruhi dan menjinakkannya.

Kedua, disharmonisasi di tubuh Polri. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa kasus sensitif yang membuat citra Polri masih berada dalam atmosfer konflik atau setidaknya terdapat gesekan dan saling menstigmaisasi. Terbongkarnya kasus mafia pajak akibat testimoni Susno dan dugaan terlibatnya elemen Polri dalam pembunuhan Nasaruddin adalah beberapa kasus yang membuat Polri belum ditempatkan sebagai institusi penegakan hukum yang berwibawa.

Apa yang dibongkar Susno itu seperti menggeneralisasi bahwa sebenarnya tubuh Polri masih menyimpan beragam misteri -yang salah satu di antaranya kasus pajak- yang bukan tidak mungkin suatu saat bisa terjadi dan meledak. Meski apa yang diungkap Susno terbilang terlambat, setidaknya, ''berkat" testimoninya itu, publik jadi paham bahwa institusi Polri memerlukan reformasi internal secara maksimal. Dengan demikian, kandidat Kapolri wajib bekerja keras di kemudian hari.

Ketiga, stigmaisasi yang dilekatkan kepada Polri bahwa institusi ini masih menjadi institusi yang belum bersih saat menjalankan peran sebagai "mesin" fundamental dari implementasi sistem peradilan pidana (criminal justice system). Posisinya sebagai mitra penegakan hukum dengan lembaga lain seperti kejaksaan, kehakiman, dan lembaga-lembaga advokasi masih dihadapkan kepada virus yang mereduksi "kesehatan" profetisnya. Tuduhan sebagai lembaga berpenyakit serius sebagaimana kejaksaan dan kehakiman masih melekat hingga sekarang.

Keempat, ketakutan saksi korban dalam memberikan kesaksian serta teraniayanya aktivis pejuang HAM dan antikorupsi akibat teror yang dialami mengindikasikan bahwa Polri belum menjadi pelindung keberlanjutan dan kedamaian hidup warga masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Peran yuridis kepolisian negara tersebut jelas bahwa negara mengamanatkan kepada Polri untuk menjalankan peran sebagai pelindung hak asasi manusia. Namanya pelindung, tentulah apa yang diperankan dikonsentrasikan untuk membuat masyarakat bisa menjalani kehidupan dalam atmosfer kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan.

Jika masih marak horor atau teror, kalangan pencari keadilan kesulitan mengadakan komunikasi inklusif dan egaliter saat berurusan ke kantor polisi. Dengan demikian, polisi belum sampai pada ranah maksimalitas dalam meningkatkan profesionalismenya.

Keempat  kondisi di atas jelas menjadi agenda besar bagi Kapolri pada masa mendatang. Keempat "pekerjaan" itu selayaknya menjadi bahan refleksi bagi para kandidat Kapolri supaya saat kandidat itu terpilih jadi Kapolri di kemudian hari, dia bisa menuntaskannya. (*)

*) Abdul Wahid , dekan Fakultas Hukum dan pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan