Agama dan Pemberantasan Korupsi

La`nat Allah `ala al-raasyi wa al-murtasyi.
(Hadis riwayat Bukhari-Muslim)

AGAMA mana pun, khususnya Islam, saya yakin, mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apa pun. Dalam hadis yang dikutip di atas, memang hanya dinyatakan kutukan Allah terhadap penyuap dan pemberi suap, tetapi dalam kamus bahasa Arab modern, risywah tidak hanya berarti penyuapan (bribery), tetapi juga korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty).

Lebih dari itu, para ulama kontemporer menyepakati, risywah, berarti tidak hanya korupsi konvensional, tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya, yang bukannya tidak sering merupakan pencurian, bahkan perampokan.

DALAM konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang-sekali lagi-juga amat dikutuk Allah SWT.

Jika Islam amat membenci korupsi, mengapa tindakan-tindakan seperti itu merajalela dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduk Muslimnya di muka bumi. Berbagai survei yang dilakukan lembaga asing, seperti Global Corruption Index atau Transparency International Index, dan dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, Indonesia termasuk rangking teratas dalam peringkat korupsinya. Bahkan, tindak pidana korupsi tidak lagi terpusat di Jakarta, tetapi menyebar ke seluruh daerah, menjadi penumpang gelap dalam proses otonomisasi dan desentralisasi. Begitu kian akutnya korupsi sehingga Djohan Effendi (Kompas, 1/9/2003), T Gayus Lumbun (Kompas, 2/9/2003), dan Budi Darma (Kompas, 3/9/2003) memperlihatkan pesimisme mendalam tentang sulitnya pemberantasan korupsi.

Sejak tahun 1992 hingga tahun 2000, menurut International Country Risk Guide Index (ICRGI), indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (tahun 2000). Kecenderungan yang sama juga terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir sembilan pada tahun 2000. Negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga negara-negara berpenduduk mayoritas Kristiani, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Buddha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.

Sementara itu, ada negara lain, yang juga mayoritas beragama Islam seperti Iran, Arab Saudi, Syria, atau Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibanding Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristiani seperti AS, Kanada, atau Inggris dengan indeks korupsi di bawah dua.

Gambaran kasar ini memberi indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak berkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan tatanan hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Harus diakui, agama lebih merupakan imbauan moral; meski agama juga memberi ancaman bagi pelaku yang melakukan tindak jinayah (kriminal) seperti korupsi, hukuman itu umumnya hanya berlaku di akhirat kelak.

Memang dalam Islam ada hukum syari`ah jinayah yang jika diambil alih menjadi hukum positif nasional dapat menetapkan hukuman berat seperti potong tangan bagi pencuri harta publik (koruptor) yang dapat diganti melalui wewenang peradilan (ta'zir) dengan hukuman penjara seberat-beratnya yang berarti menghilangkan kemampuan dan kesempatan untuk mencuri. Tetapi, dalam negara majemuk seperti Indonesia yang bukan negara Islam, penerapan syariah jinayah akan menimbulkan masalah-masalah tertentu.

Akhirnya, terlalu mengharapkan ajaran dan nilai agama dapat melenyapkan korupsi mungkin merupakan harapan berlebihan. Apalagi, dalam realitasnya, pengamalan ajaran agama yang lebih merupakan moral appeal sering amat dipengaruhi berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Bahkan, harus diakui, ada ironi-ironi tertentu dalam realitas kehidupan beragama itu sendiri.

Pada satu segi, semangat keberagamaan terlihat meningkat di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk korupsi dan penyakit-penyakit sosial lain juga semakin mewabah. Lemahnya penegakan hukum, mewabahnya gaya hidup hedonistis, tidak adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi, membuat korupsi kian merajalela. Karena itu, sekali lagi, dengan berbagai faktor terakhir yang mengakibatkan mewabahnya korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain, tidak adil bila orang secara simplistis mengkambinghitamkan agama.

NAMUN, dari perspektif kehidupan dan pengamalan agama sendiri, ada hal-hal perlu dikoreksi. Sudah amat sering kita mendengar kritik tentang kehidupan dan pengamalan keagamaan masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada formalisme dan simbolisme keagamaan daripada substansi. Kalaupun ada penekanan pada substansi, ini lebih cenderung inward oriented, pada kesalehan personal-individual, juga sekaligus outward oriented menjadi kesalehan sosial yang terejawantah dalam kehidupan sosial secara luas.

Kesalehan sosial yang sebagian sudah terwujud dalam pemberian zakat, infak, sedekah dan bentuk-bentuk religious alms atau charities lainnya yang terus meningkat di Indonesia, seyogianya terejawantah pula dalam kesalehan dan disiplin sosial di kantor, di jalan raya, di pasar, dan lain-lain.

Oleh karena itu, meski pada satu segi terlihat peningkatan semangat keagamaan dan personal religiosity, masyarakat dan negara kita tetap merupakan soft state, negara lembek di mana tidak ada batas-batas hukum yang jelas, apalagi penegakan hukum yang konsisten untuk memberantas korupsi. Semuanya bisa diatur dan diselesaikan melalui sogok-menyogok, money politics, dan KUHP (kasih uang habis perkara).

Di sini terjadi disparitas tajam antara personal religiousity dengan social religiousity; bahkan lebih parah lagi terjadi pemisahan antara sikap keberagamaan di masjid atau rumah-rumah ibadah dengan tingkah laku di kantor, di jalan raya, dan sebagainya. Padahal, jelas, seseorang seharusnya tetap beragama di mana saja.

Karena itu, sikap keberagamaan yang terpecah (split) dan mendua ini harus dikoreksi; diperlukan ekspresi keberagamaan holistik, yang mengintegrasikan kehidupan ibadah dan ritual lain dengan praktik kehidupan sehari-hari. Inilah sebenarnya living religion, bukan hanya di rumah ibadah.

Selanjutnya, jika agama akan memainkan peran lebih besar dalam pemberantasan korupsi, itu dapat dilakukan dengan meningkatkan peran institusi keagamaan, seperti pengurus masjid atau gereja, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain.

Menurut sebuah penelitian Partnership for Governance Reform, lembaga-lembaga seperti ini memiliki kredibilitas tertinggi dibandingkan lembaga-lembaga lain sejauh menyangkut kemungkinan terjadinya korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lain.

Sayangnya, lembaga-lembaga seperti ini lebih tertarik pada masalah-masalah ibadah dan ritual mahdhah (pokok) daripada ibadah sosial seperti pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance; atau dalam kasus NU atau Muhammadiyah pada urusan- urusan rutin organisasi

Lembaga-lembaga ini belum mampu memainkan peran sebagai kelompok atau organisasi civil society dan pressure groups yang memiliki agenda pokok dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance. Sudah waktunya bagi lembaga-lembaga dan organisasi- organisasi sosial keagamaan ini menyatakan perang secara lebih konsisten dan terarah terhadap korupsi. Jika perlu, lembaga-lembaga ini dapat mengeluarkan fatwa tentang wajibnya melakukan jihad melawan korupsi. Inilah jihad yang relevan dan kontekstual untuk Indonesia masa kini dan datang.(Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah Sosial- Intelektual Islam dan Rektor UIN Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Jumat, 05 September 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan