Advokat dalam Jeratan Hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menahan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto. Peristiwa ini tidak hanya menjadi kejutan awal tahun, tapi juga telah mencoreng citra advokat yang dianggap sebagai profesi terhormat (officium nobile). Sebelumnya, KPK menetapkan Fredrich bersama dokter Bimanesh dari Rumah Sakit Medika Permata Hijau sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung (obstruction of justice) penyidikan perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik dengan tersangka Setya Novanto, mantan Ketua DPR.
Dugaan penghalang penegakan keadilan (obstruction of justice) dilakukan Fredrich setelah Setya mengalami kecelakaan mobil di kawasan Permata Hijau dan dirawat di RS Medika pada 15 November 2017. Kecelakaan terjadi saat KPK hendak menangkap Setya di kediamannya. Saat itu KPK menilai pihak rumah sakit tidak bersikap kooperatif terhadap upaya penegakan hukum yang sedang dilakukan.
Penetapan Fredrich sebagai tersangka ini memperpanjang deretan advokat yang tersandung masalah hukum, khususnya korupsi. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sejak 2005 terdapat sedikitnya 22 advokat yang pernah diproses hukum dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Mereka ditangkap atas dugaan penyuapan, menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi, dan pemberian keterangan secara tidak benar.
Terdapat 16 advokat yang pernah tertangkap karena berupaya menyuap hakim atau pegawai pengadilan. O.C. Kaligis, misalnya, harus mendekam di penjara karena menyuap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan. Sebelum Fredrich, ada tiga advokat yang pernah menjadi tersangka penghalang penegakan keadilan. Salah satunya Manatap Ambarita, yang berupaya menghalang-halangi pemeriksaan oleh kejaksaan dalam perkara korupsi penyalahgunaan sisa anggaran tahun 2005 pada Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, dengan tersangka Afner Ambarita.
Tindakan advokat yang terlibat korupsi atau melanggar hukum sesungguhnya sering terjadi, meski tidak banyak yang diproses secara hukum. Hal ini diperkuat oleh penelitian ICW pada 2001 tentang pola-pola korupsi di lingkungan peradilan. Hasil penelitian menemukan banyak penyimpangan yang dilakukan oknum advokat dalam proses beracara dan menempatkan profesi ini sebagai salah satu aktor mafia peradilan. Dari penelitian yang dilakukan di enam kota besar di Indonesia, juga terungkap bahwa praktik suap yang dilakukan advokat terjadi di semua perkara dan dalam setiap tahapan beracara di peradilan. Misalnya, dalam perkara pidana, agar urusan proses hukum menjadi lancar, ada advokat yang tidak segan-segan memberikan suap kepada polisi, jaksa, atau hakim.
Berdasarkan pemantauan ICW tersebut, terpetakan tiga golongan advokat. Pertama, advokat "putih". Advokat ini tidak pernah melakukan suap-menyuap dan melarang pemberi kuasa atau pihak beperkara untuk melakukan penyuapan. Kedua, advokat "abu-abu". Advokat ini tidak mau melakukan suap kepada aparat hukum, tapi tidak melarang pihak beperkara untuk melakukan suap atau lobi untuk kepentingan perkaranya. Golongan ketiga atau yang terakhir adalah advokat "hitam". Advokat jenis ini aktif melakukan suap bahkan mendorong pihak beperkara untuk melakukan suap demi memenangi atau melancarkan perkara.
Meski sudah banyak yang tertangkap penegak hukum, masih banyak advokat yang tetap nekat melakukan cara-cara kotor untuk memenangi perkara atau membela klien mereka. Slogan "maju tak gentar membela yang bayar" akhirnya muncul sebagai cermin dari advokat yang bertindak semata-mata untuk mendapat banyak uang tapi mengabaikan upaya pembelaan hukum yang terhormat. Padahal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat jelas menyebutkan bahwa advokat dalam melaksanakan tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.
Proses hukum yang menjerat Fredrich dan advokat nakal lainnya harus menjadi peringatan bagi advokat lain untuk tidak melakukan tindakan menyimpang atau koruptif pada masa mendatang. Agar menimbulkan efek jera, advokat yang terbukti melakukan perbuatan pidana harus dihukum dengan ancaman hukuman maksimal.
Organisasi advokat, seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), juga perlu mencegah dan menindak secara internal agar musibah serupa tidak terjadi lagi. Peradi pun wajib mendukung tindakan penegak hukum memproses advokat nakal dan tidak memaknainya sebagai serangan terhadap profesi advokat. Perlu juga diingatkan bahwa kekebalan (imunitas) seorang advokat sebatas pembelaan dalam proses peradilan, tapi tidak dibenarkan melakukan tindakan melawan hukum atau melanggar undang-undang. Terakhir, Peradi tidak perlu ragu untuk menegakkan kode etik profesi advokat dengan memberi sanksi keras atau mencabut lisensi advokat yang terbukti melanggar kode etik atau tindak pidana.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW
-----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 18 Januari 2018, dengan judul "Advokat Dalam Jeratan Hukum"