Antiklimaks Penegakan Hukum Suap Pemilu yang Menjerat Hasto Kristiyanto

Jalan panjang penanganan suap Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg terpilih PDIP pada pemilu 2019 memasuki babak baru. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terbukti terlibat menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan divonis 3,5 tahun penjara. Meski demikian, Majelis Hakim memutus Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Menanggapi putusan Hasto Kristiyanto, Indonesia Corruption Watch berpandangan:
Pertama, larangan perintangan penyidikan diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal tersebut membatasi tahapan perintangan pada penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Putusan hakim yang menyebut Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan bukan semata-mata dikarenakan tidak terjadinya perbuatan berupa perintah untuk merendam handphone, tetapi lebih dikarenakan belum dimulainya tahapan penyidikan yang dalam pandangan hakim ditandai dengan dikeluarkannya surat perintah penyidikan (sprindik).
Artinya, dalam kasus ini patut dilihat perbuatan perintangan penindakan KPK benar terjadi, namun terdapat kelemahan Pasal 21 yang tidak mencakup waktu penindakan pada waktu sebelum penyidikan. Terlepas dari handphone tetap dapat disita KPK, perbuatan “Bapak” yang disebut-sebut memerintahkan Harun Masuki merendam ponselnya pada 8 Januari 2020 seharusnya sudah dimaknai sebagai kesengajaan dan adanya niat jahat. Harun Masiku yang masih buron hingga saat ini juga patut dilihat sebagai dampak adanya perintah “Bapak” agar Harun Masiku melarikan diri sebagaimana diungkap oleh jaksa.
Jika dibentangkan dengan linimasa penindakan yang dilakukan KPK terkait kasus ini, perintah tersebut kuat dugaan dilatarbelakangi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020 yang menyebabkan ditangkapnya Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Rentetan peristiwa inilah yang penting diungkap dalam persidangan. Disamping perdebatan terjadinya perintangan penyidikan sesuai Pasal 21, dalam konteks mengungkap upaya pelaku korupsi menghindari penindakan, sulitnya upaya penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum seharusnya dibarengi dengan keberanian hakim dalam menggali kebenaran materiil dan niat jahat pelaku.
Dalam perspektif judicial activism, hakim seharusnya mampu dan berani mengatasi permasalahan hukum yang bersifat positivistik demi keadilan substansial. Sebab, Harun Masiku yang masih buron hingga saat ini juga patut dilihat sebagai dampak kausalitas dari adanya perintah “Bapak” sebagaimana diungkap oleh jaksa.
Kedua, vonis hakim yang memberikan hukuman 3,5 tahun patut disayangkan dan menjadi antiklimaks dalam upaya panjang pengungkapan kasus ini hingga akar-akarnya. Vonis tersebut setengah lebih rendah dari tuntutan Jaksa yang menuntut 7 tahun. Dalih bahwa Hasto telah mengabdi pada negara melalui berbagai posisi publik merupakan logika yang keliru dan tidak sepatutnya menjadi pertimbangan untuk meringankan hukuman. Seharusnya latar belakang tersebut menjadi pemberat hukuman Hasto, bukan malah meringankan.
Ketiga, rendahnya vonis hakim juga patut dikritisi dari aspek bahwa perbuatan menyuap Komisioner KPU sebagai upaya kotor mencoreng integritas pemilu. Pemilu adalah proses demokrasi yang diselenggarakan sedemikian rupa dengan anggaran tidak sedikit dan harus dijaga integritasnya. Aktor dari peserta pemilu, seperti pengurus partai hingga kandidat seharusnya turut serta menjaga pemilu, termasuk dengan tidak menukar integritas penyelenggara dengan uang suap. Sehingga, selain mencederai upaya perlawanan terhadap korupsi, kasus ini patut dilihat sebagai upaya mencederai demokrasi.
Berdasarkan catatan di atas, ICW menilai bahwa babak baru suap Harun Masiku masih berjalan antiklimaks dan tidak menunjukkan pengadilan yang progresif. Padahal, kasus ini telah berjalan panjang hingga melewati pemilu selanjutnya. ICW juga terus mendesak penegak hukum menuntaskan kasus ini dengan menangkap tersangka Harun Masiku yang hingga saat ini masih buron. Kami meragukan buronnya Harun Masiku dikarenakan kelihaian tersangka bersembunyi, tetapi tidak lepas dari berbagai upaya perintangan hingga keseriusan penegak hukum yang terlalu lambat menindaklanjuti pihak-pihak lain yang terlibat, seperti Hasto Kristiyanto.
Salam Antikorupsi!
Jakarta, 26 Juli 2025
Narahubung:
Almas Sjafrina (Koordinator ICW)
Wana Alamsyah (Kepala Divisi Hukum dan Investigasi)