Pelantikan Pejabat Struktural Baru KPK: Upaya Mengikis Independensi Kelembagaan dan Indikasi Penyalahgunaan Kewenangan

Sumber foto: Antara

Pimpinan KPK kembali menuai kontroversi. Pada hari ini, Ketua KPK, Firli Bahuri, melantik 38 pejabat struktural yang akan mengisi pos-pos strategis di lembaga anti rasuah tersebut. Pelantikan itu menjadi tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK (PerKom 7/2020). Sebagaimana diduga sebelumnya, tindak lanjut dari PerKom tersebut diyakini akan memiliki implikasi serius pada beberapa aspek penting. 

Secara umum, problematika pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari Pimpinan untuk semakin mengikis independensi kelembagaan. Sebab, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh oknum Kepolisian. Saat ini saja, pasca pelantikan, setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, diantaranya: 7 (tujuh) pada level Direktur, 1 (satu) pada level Deputi, dan 1 (satu) pada level Pimpinan.

Tidak hanya itu, kebijakan untuk melantik puluhan pejabat KPK itu juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh Pimpinan. Hal itu dikarenakan landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan bermasalah.

Sebagaimana diketahui, perubahan regulasi KPK menjadi UU 19/2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU 30/2002. Artinya, nomenklatur struktur KPK harus kembali merujuk pada Pasal 26 UU 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2019 yaitu, 1) Bidang pencegahan; 2) Bidang Penindakan; 3) Bidang Informasi dan Data; 4) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. 

Namun, PerKom 7/2020 malah menambahkan nomenklatur baru, misalnya: Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Inspektorat, Staff Khusus, dsb.  Ini menunjukkan bahwa, Keputusan Pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UU 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan. 

Nomenklatur baru KPK juga bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada isu efisiensi. Jika pada struktur lama KPK hanya memiliki 4 (empat) Kedeputian dengan 12 Direktorat, pasca berlakunya PerKom 7/2020, stuktur KPK membengkak menjadi, 5 (lima) Kedeputian dengan 21 Direktorat. 

Penggemukkan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK. Sebagai lembaga negara yang sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya, akan berkurang akibat penggemukkan struktur KPK. Akibat lainnya dari penggemukkan ini adalah, melambatnya kinerja KPK.

Pada sisi lain, peluang PerKom 7/2020 dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika ada pengajuan uji materil terhadapnya, akan semakin besar. Sebab pada prinsipnya, sebuah regulasi yang menjadi turunan dari undang-undang tidak boleh bertentangan satu sama lain, dan PerKom 7/2020 secara terang-terangan bertentangan dengan UU 19/2019. 

Masalah besar lainnya, pelantikan pejabat struktural KPK dengan segala kontroversi di dalamnya akan semakin menurunkan kepercayaan publik pada lembaga anti rasuah tersebut. Penting untuk diingat, sepanjang tahun 2020 setidaknya ada lima lembaga survei yang mengonfirmasi adanya degradasi kepercayaan publik pada KPK. Semestinya ini menjadi catatan dan evaluasi bagi Pimpinan untuk tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang keliru. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan