Korupsi yang Didesain

Tepatnya pada 7 Desember 2017, saya diundang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi salah satu panelis dalam seminar memperingati Hari Anti Korupsi Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Desember. KKP juga mengundang dua narasumber kunci, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

Ketika giliran Menteri Susi berbicara, sebagaimana gaya khasnya yang meledak dan spontan, ia berujar bahwa di bawah kepemimpinannya selama tiga tahun, KKP telah melakukan efisiensi anggaran, dari perencanaan sampai belanja, hingga mencapai Rp 8,4 triliun.

Ia melanjutkan cerita dengan membeberkan lebih detail bagaimana efisiensi itu bisa dilakukan. Salah satunya dengan tim internal KKP, yang sebagian besar dibantu Inspektorat Jenderal KKP, menyisir rancangan anggaran KKP detail demi detail untuk menemukan usulan yang tidak masuk akal atau mengada-ada.

Salah satu yang kemudian ia ungkapkan adalah adanya anggaran rapat yang nilainya melebihi barang yang akan dibeli, sementara rapat itu sendiri dimaksudkan untuk menentukan rencana pengadaan barang tersebut. Banyaknya rapat-rapat dalam program yang diusulkan juga mengindikasikan bagaimana birokrasi berusaha untuk mendapatkan tambahan penghasilan, karena dalam rapat ada honorarium yang dialokasikan.

Hal berikutnya yang ia sampaikan adalah kekecewaan. Sebab, tahap berikutnya yang diharapkan bisa diimplementasikan adalah menaikkan gaji PNS KKP agar bisa sederajat atau mendekati nilai gaji PNS Kementerian Keuangan. Ini sudah ia usulkan dalam rapat kabinet dan kepada Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan.

Meskipun alasannya masuk akal, yakni efisiensi yang telah ia dan timnya lakukan selama tiga tahun hingga mencapai
Rp 8,4 triliun, semestinya bisa dialihkan sebagiannya untuk menaikkan gaji PNS KKP, tetapi proposal Susi ditolak. Alasan berikutnya, jika selama ini gaji PNS Kemenkeu paling besar di antara PNS lainnya karena berangkat dari asumsi bahwa PNS Kemenkeu berperan sentral dalam mengumpulkan revenue, pertanyaan yang ia ajukan: apakah PNS KKP dan kementerian lainnya tidak dianggap penting? Pertanyaan kunci yang kemudian ia ajukan, ”Dengan gaji pegawai KKP yang sekarang, berapa lama saya bisa meminta para pegawai saya untuk melakukan efisiensi?”

Kebijakan memicu korupsi
Apa yang disampaikan Menteri KKP Susi Pudjiastuti sejatinya masalah umum birokrasi di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Terhadap usul kenaikan gaji, banyak yang menilai kenaikan gaji PNS tidak secara otomatis akan membuat korupsi di birokrasi berkurang. Klaim ini ada benarnya karena ada banyak kasus korupsi di mana pelakunya adalah pejabat publik yang bergaji tinggi.

Pendek kata, gaji kecil bukan satu-satunya motif orang korupsi. Namun, justifikasi semacam itu akan menjebak dan menciptakan kondisi yang subur bagi maraknya korupsi, khususnya korupsi birokrasi.

Jika kita merujuk pada pengalaman negara-negara yang berhasil mengontrol korupsi birokrasi dengan efektif, dan menciptakan birokrasi yang efisien dan profesional dalam memberikan pelayanan publik, hal itu juga dimulai dengan memperbaiki sistem penggajian mereka. Singapura sebagai contoh, menyusun kebijakan anti-korupsi dengan menaikkan gaji pegawainya sejajar dengan gaji sektor swasta pada level jabatan yang sederajat. Ini untuk memastikan bahwa pelamar berasal dari perguruan tinggi yang bonafit dan kompetitif sehingga pemerintah mendapatkan sumber daya manusia yang unggul. Dengan kebijakan penyetaraan gaji pada semua sektor, Pemerintah Singapura juga bisa menerapkan kebijakan reward and punishment di mana jika ditemukan pegawai pemerintah melakukan korupsi, hukumannya akan lebih tegas. Sebaliknya, jika integritas pegawai itu sangat baik, ia akan mendapatkan promosi dalam berbagai bentuknya.

Pada kasus Indonesia, kita masih berkutat pada masalah klasik di mana kenaikan gaji PNS dianggap hanya akan menambah beban keuangan negara. Sebenarnya, pemerintah perlu melakukan kalkulasi dan perbandingan yang faktual antara biaya atau nilai korupsi birokrasi yang harus ditanggung negara setiap tahunnya dan biaya tambahan untuk menaikkan gaji PNS secara keseluruhan. Jika dalam satu kementerian selama tiga tahun bisa melakukan efisiensi mencapai
Rp 8,4 triliun, kita tinggal menghitung berapa nilai efisiensi anggaran jika seluruh kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah melakukan hal yang sama dibandingkan memelihara perilaku koruptif birokrasi karena tidak ada keputusan berani untuk membenahi sistem penggajian PNS.

Formula kebijakan kenaikan gaji PNS tentu bisa bermacam- macam, salah satunya dengan model yang telah diusulkan Menteri KKP di mana upaya efisiensi rencana dan belanja dapat dikonversi sebagiannya untuk kenaikan gaji PNS. Pemerintah bisa mendesain kebijakan, misalnya dengan menerapkan kenaikan gaji PNS selektif hanya terhadap K/L yang berhasil melakukan efisiensi anggaran.

Tanpa ada intervensi kebijakan pemerintah untuk mulai melakukan perhitungan ulang terhadap nilai gaji PNS, sekaligus formula baru penggajian PNS, pemerintah sedang memelihara budaya korupsi di lingkungan birokrasi. Apa yang terjadi dengan usulan rapat-rapat, kegiatan pertemuan di luar kota, kegiatan diskusi terpumpun atau focus group discussion (FGD) untuk berbagai hal, mark-up proyek, anggaran ganda, dan berbagai bentuk manipulasi pada tahap perencanaan anggaran negara adalah konsekuensi dari buruknya sistem penggajian PNS kita.

Perlu diingat bahwa penyebab korupsi bukan hanya karena ketamakan, melainkan juga karena kebutuhan (need).

Adnan Topan Husodo  Koordinator ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Januari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan