Sistem Merit dalam Pemerintahan

Baru-baru ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberikan penghargaan kepada sejumlah pejabat tinggi yang berprestasi dalam berinovasi dan mampu menjadi penjaga pelaksanaan sistem merit bagi manajemen aparatur sipil negara.

Upaya Menpan dan RB tersebut membuktikan betapa serius pemerintah melaksanakan sistem merit yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun   2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).  UU ini secara tegas melaksanakan dan mewujudkan sistem merit dalam menata manajemen pemerintahan.  Sistem merit dalam praktik pemerintahan sudah lama dikenal dan dilaksanakan. Akan tetapi, perwujudannya jauh dari yang seharusnya terjadi.

Menurut sejarah, sistem merit mulai   dilakukan di zaman Dinasti Qin dan Han di China.  Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dalam upaya melaksanakan kekuasaan kerajaan yang wilayahnya begitu luas, besar, dan menyebar, pemerintahan Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang kompleks.

Prospektif jabatan tak terbatas bisa diisi oleh calon dan  mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau peringkat jabatan ditetapkan dengan melakukan sistem merit  tersebut. Akhirnya, sistem sembilan tingkatan (nine-rank system) jabatan dibentuk oleh tiga dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. 

Dari China,  konsep sistem merit kemudian menyebar dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian ke daratan Eropa dan Amerika. Negara kita semenjak pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang juga telah mengenal dan melaksanakan sistem merit dalam manajemen pemerintahan. Akan tetapi, upaya pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan.

Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan  diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU berlaku. Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian  dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan profesionalistik  calon menjadi pertimbangan utama.

Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan. Prinsip netralitas menunjukkan tak ada unsur kedekatan kepentingan, seperti keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, dan konglomerasi. Selain kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlak  juga menjadi pertimbangan bagi calon aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer.

Yang terjadi selama ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja. Proses pengangkatan calon secara diam-diam dilakukan  dengan melanggar konsepsi disiplin ilmu. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai dengan persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Terkait netralitas, dalam pelaksanaannya, semua ditentukan oleh pertimbangan kedekatan calon dengan pemegang kekuasaan.

Cara melaksanakan sistem merit seperti itu berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, lebih-lebih pada pemerintahan Orde Baru yang berlangsung hampir 32 tahun. Bahkan, sisa-sisa pemerintahan Orde Baru masih terasa dipraktikkan sampai sekarang. Itulah sebabnya, pada 2014, dengan dipelopori Komisi II DPR, terbentuk UU ASN yang sarat dengan upaya menegakkan sistem merit ini.

UU ini oleh pemerintah pernah ditolak, bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung pemerintah pusat berdemonstrasi menolak UU ASN. UU ini banyak menghadapi rintangan, baik di kalangan politik di DPR sendiri maupun di birokrasi pemerintahan. Bahkan, DPR, sebagai lembaga tempat inisiatif pembentukan UU ini berasal, berencana merevisi dan menghapus adanya Komisi ASN, suatu lembaga penjaga sistem merit (merit system protection board).

Tidak efektifnya pelaksanaan sistem merit salah satunya karena pendekatan kekuasaan dijalankan oleh pejabat pemerintah. Manajemen pemerintahan yang sentralistik lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan atau otoritas yang dipegang oleh pemegang jabatan, lebih-lebih jika pemegang jabatan itu pejabat politik dari parpol. Akibatnya, semua tergantung persepsi pemegang kekuasaan. Ketegasan dan loyalitas melaksanakan UU yang ada menjadi samar-samar sesuai dengan aspirasi politik yang menjadi dasar pertimbangan pemegang kekuasaan jabatan.

Politik kekuasaan inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita. Manajemen pemerintahan memang tanpa kekuasaan, bukan lagi menjadi pemerintahan yang berdaulat. Namun, kekuasaan yang selalu  jadi andalan dalam manajemen pemerintahan, tanpa melihat   pendekatan lain  yang aspiratif dan humanitif, akan banyak penyimpangan.

Pendekatan kekuasaan
Pendekatan kekuasaan yang dilakukan secara subyektif dari pertimbangan pemegang jabatan bisa dihindari dengan mengendalikan emosi kekuasaan dan banyak mengamalkan pendekatan human government yang menekankan pada manajemen pemerintah berbasis penghargaan kepada faktor manusia ciptaan Tuhan yang Mulia ini. Manusia  yang diciptakan utuh oleh Tuhan  dilengkapi dengan kemampuan rasio pikir dan kalbu hati nurani yang jernih. Manusia yang punya potensi pikir yang rasional akan melahirkan calon-calon yang memiliki potensi dalam kompetensi dan profesionalitasnya.

Di sinilah seharusnya sistem merit mendapat tempat pada pendekatan kekuasaan dalam manajemen yang humanitif. Dengan demikian, sistem merit bisa dijalankan sangat tergantung pada dua pihak. Pertama, calon yang akan direkrut harus kompeten, profesional, dan keahliannya sesuai dengan yang dibutuhkan, jujur dan loyal, berakhlak mulia. Kedua, pejabat pemerintah pemegang kekuasaan harus netral.

Pejabat politik-birokrat
Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Pejabat politik yang berasal dari kekuatan parpol dalam sistem pemerintahan kita sudah lama kita kenal pula. Di awal kemerdekaan, ketika pemerintah melaksanakan sistem demokrasi liberal, partai-partai politik dibentuk oleh rakyat. Parpol adalah kesatuan aspirasi politik dari sekelompok rakyat yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang ingin dicapai itu ialah kekuasaan pemerintahan. Mulai dari zaman liberal, zaman demokrasi terpimpin, hingga era demokrasi reformasi sekarang ini, keinginan parpol untuk kekuasaan tak pernah berubah.

Oleh karena itu, manajemen pemerintahan yang aslinya ditempati para pejabat birokrasi pemerintah mulai dipimpin oleh pejabat politik dari kekuatan parpol yang berkuasa atau yang memenangi suara pemilu. Dari sinilah kehadiran jabatan politik dari partai politik memimpin birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis jadi subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik.

Dari gambaran hubungan kedua jabatan ini, sangat sulit pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang menjadi atasannya.

Terpengaruhnya ASN dalam proses politik banyak dijumpai di daerah-daerah ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai daerah yang ikut kampanye mendukung calon yang akan memimpin mereka di pemerintah daerah. Mereka yang tak ikut
mendukung jika calon tersebut menang pilkada, bisa jadi kariernya tersendat. Di sinilah netralitas aparatur menjadi ma-
salah dalam melaksanakan sistem merit.

Ada gagasan sebaiknya ASN seperti TNI dan Polri, yakni tidak ikut memilih dan dipilih dalam pemilu dan pilkada. Jika ikut memilih dan dipilih, mereka harus pensiun dari ASN.

Di Amerika, upaya lain untuk menghindari intervensi politik dari pejabat politik adalah, begitu pejabat politik dari partai tertentu menjadi dan memimpin birokrasi pemerintahan, pejabat politik tersebut harus melepaskan ikatan dan identitas partai politiknya. Mereka harus menjadi  penjabat negara (official government).

Untuk mendukung kebijakan Menpan dan RB dalam memperkuat pelaksanaan UU No 5/2014 tentang ASN, yang harus menjalankan sistem merit secara konsekuen, dua hal yang disebutkan di atas—yakni pendekatan kekuasaan pejabat dan tata hubungan pejabat politik dan pejabat birokrat—perlu dibenahi.

Miftah Thoha Guru Besar Universitas Gadjah Mada

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 30 Januari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan