Pasca Vonis Setya Novanto

Foto: Tirto.id
Foto: Tirto.id

Akhirnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis terhadap terdakwa korupsi KTP-El, Setya Novanto, pada Selasa (24/04) lalu. Setya dihukum penjara selama 15 tahun dengan denda sebesar Rp 500 juta serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS. Tak berhenti disitu hakim juga mencabut hak politik mantan Ketua DPR RI ini selama lima tahun.

Novanto dikenakan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengartikan bahwa Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyalahgunakan kewenangan dalam proyek pengadaan KTP-El. Dengan posisi sebagai Ketua Fraksi Golkar ia dianggap mempunyai pengaruh untuk mengkoordinasikan anggota DPR lainnya agar dapat mengucurkan dana sebesar Rp 5,9 triliun yang menjadi total nilai proyek pengadaan tersebut.

Ada beberapa hal yang penting untuk dicermati dalam putusan tersebut. Pertama, vonis terhadap Novanto masih belum maksimal sesuai dengan Pasal 3 UU Tipikor yang dinyatakan hakim terbukti. Mengacu pada ketentuan tersebut Novanto harusnya dapat diganjar hukuman 20 tahun penjara, bahkan sampai seumur hidup. Namun alih-alih menghukum maksimal justru hakim malah memutus lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu selama 16 tahun.

Kedua, vonis hakim tersebut sekaligus menegaskan kembali bahwa permohonan Novanto sebagai Justice Collaborator (JC) telah resmi ditolak. Maka dari itu menjadi hal yang wajar jika vonis Novanto melebihi ketiga terdakwa sebelumnya. Penolakan Novanto sebagai JC sebenarnya sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari, terlebih pada saat pembacaan surat tuntutan, Jaksa KPK mengatakan bahwa Novanto tidak layak diberikan predikat sebagai JC. Indikatornya sederhana, mulai dari proses penyidikan sampai persidangan mantan Ketua Umum Partai Golkar ini kerap menunjukkan itikad tidak baik serta bertindak tidak kooperatif pada proses hukum.

Di luar dari itu, pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Novanto berupa pencabutan hak politik selama lima tahun patut untuk diapresiasi. Dengan menjatuhkan pidana tambahan tersebut diharapkan nantinya akan menjadi yurisprudensi bagi hakim-hakim lain saat memutus perkara yang serupa. Kombinasi antara pidana penjara yang maksimal serta pencabutan hak politik diyakini akan membuat oknum yang ingin melakukan perbuatan korupsi akan berpikir ulang.  

Pasca vonis, KPK harus bisa memastikan bahwa penanganan perkara KTP-El tidak berhenti pada perkara yang melibatkan Setya. Setidaknya ada 2 (dua) langkah yang harus segera ditindaklanjuti. Pertama, KPK berkewajiban menindaklanjuti pihak-pihak yang disebut turut serta menerima dana dari proyek senilai Rp 5,9 trilyun itu. Dalam pembacaan putusan Novanto, selain terdakwa hakim juga menyebut ada 27 pihak yang juga meraup keuntungan dari proyek pengadaan KTP-El. Dengan bukti putusan tersebut seharusnya KPK dapat menindaklanjuti dengan menerbitkan surat perintah penyelidikan yang baru.

Kedua, KPK harus mulai menelusuri dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh Novanto. Hal tersebut mengingat dalam persidangan ditemukan fakta bahwa banyak transaksi keuangan dari luar negeri yang diduga ditujukan kepada Novanto serta aliran dana ke beberapa korporasi. Setidaknya dengan menggunakan Pasal 77 UU TPPU yang mewajibkan terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana dapat menyulitkan pelaku korupsi untuk berkilah. Sederhananya jika pelaku korupsi tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaan tersebut patut diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi maka hartanya dapat dirampas oleh negara.*** (Kurnia/Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags