Konflik Kepentingan Dalam Pembahasan RKUHP

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Setelah melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedianya akan dilakukan 17 Agustus 2018 mendatang. Penundaan ini berkaitan dengan keberatan KPK yang menilai pasal pidana korupsi dalam RKUHP berpotensi menyebabkan lembaga anti rasuah menjadi mandul. 

Tidak saja KPK, publik juga menilai Pembahasan R KUHP ini membahayakan Komisi Anti Korupsi ini. Hingga 10 Juli 2018 sebanyak 107.629 orang telah menandatangani petisi online https://www.change.org/p/kpkdalambahaya yang intinya meminta Presiden dan DPR menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam R KUHP.

Pihak pemerintah – yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Tim Perumus R KUHP – dalam beberapa kesempatan menyatakan dimasukkannya pasal korupsi dalam RKUHP tidak akan melemahkan KPK. Namun pernyataan ini layak diragukan akibat adanya konflik kepentingan khususnya Menteri Yasonna Laoly dan Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi dengan KPK secara institusi.

Nama Yasonna disebut dalam tuntutan terdakwa Irman dan Sugihato – yang dibacakan oleh Jaksa KPK di persidangan – menerima uang sebesar 84 ribu dollar amerika terkait proyek E-KTP. Yasonna juga telah beberapa kali diperiksa sebagai saksi KPK dalam penyidikan kasus korupsi E-KTP. Sedangkan terhadap Muladi – selain pernah menjabat dalam kepengurusan di Partai Golkar – adalah karena saat ini anak menantunya yaitu Fayakhun Andriadi (Politisi Golkar) sejak 14 Februari 2018 telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi KPK karena menerima suap sebesar Rp 12 miliar dari pengadaan alat satelit monitoring di BAKAMLA. Fayakhun saat ini dalam tahanan dan bersiap menghadapi proses penuntutan KPK.   

Akibat adanya konflik kepentingan baik tersebut maka objektivitas dari Pemerintah dalam R KUHP khususnya ketika membahas aturan korupsi dalam R KUHP layak dipertanyakan. Benarkan mereka ingin memperkuat KPK atau sebaliknya? Kondisi ini memunculkan kekhawatiran ancaman terhadap eksistensi KPK jika R KUHP ini tetap dipaksakan disahkan.

Selain pemerintah, objektivitas dari pembahas di DPR juga layak dipertanyakan. Hampir semua partai politik di DPR pernah bermasalah dengan KPK dengan ditetapkannya kader atau ketua umum partai politik sebagai tersangka KPK. Ketua DPR sebelumnya Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi KPK sedangkan Ketua DPR saat ini Bambang Soesatyo juga beberapa kali dipanggil sebagai saksi dalam kasus korupsi Proyek E- KTP.    

Presiden Jokowi sebaiknya mencermati adanya persoalan konflik kepentingan ini dan tetap berpihak kepada KPK dengan segera menarik aturan korupsi dalam R KUHP.  Pemerintah dan DPR lebih baik menghasilkan regulasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti RUU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan RUU Perampasan Aset. (Emerson Yuntho)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags