Selamatkan Penegakan Etik di KPK!

Foto: Detiknews.com
Foto: Detiknews.com

Pimpinan KPK semakin seenaknya dan seolah-olah mengabaikan atas informasi yang berkembang di ruang publik. Hal ini terlihat dari reaksi salah satu Pimpinan KPK yaitu Alex Marwata yang menilai bahwa pertemuan Deputi Penindakan KPK, Firli, dengan mantan Gubernur NTB, TGH Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), adalah sesuatu yang wajar.

Perihal pertemuan antara Deputi Penindakan KPK dengan TGB sendiri, sebenarnya sudah diakui dan dibenarkan oleh KPK. Meskipun sejumlah pimpinan membantah dan mengklarifikasi bahwa pertemuan tersebut tidak ada hubungannya dengan penanganan perkara di KPK. Padahal publik tidak akan lupa ketika Ketua KPK pernah menjelaskan bahwa TGB merupakan pihak yang dimintai keterangan dalam sebuah perkara yang sedang ditelusuri KPK.

Berdasarkan peraturan KPK Nomor 7 tahun 2013 tentang Nilai-nilai dasar pribadi, kode etik, dan pedoman perilaku KPK, setiap pegawai KPK wajib berpedoman pada kode etik integritas yang diantaranya; “Dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui oleh Penasihat/Pegawai yang bersangkutan perkaranya sedang ditangani oleh Komisi, kecuali dalam rangka melaksanakan tugas dan sepengetahuan Pimpinan/atasan langsung.” (huruf B, angka 12).

Ketentuan kode etik tersebut secara jelas melarang “hubungan”, tidak peduli apapun alasannya. Manakala terjadi hubungan langsung atau tidak langsung (misalnya pertemuan), maka hal tersebut harus dipandang keliru secara etik. Apabila Pimpinan KPK mengklarifikasi bahwa pertemuan tersebut sepengetahuan atau sudah mendapatkan izin dari Pimpinan KPK, maka Pimpinan KPK harus menjelaskan penugasan apa yang telah diberikan sehingga seorang Deputi Penindakan harus berhubungan dengan TGB.

Persoalan etik lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah kehadiran 4 pimpinan KPK di Resepsi Pernikahan Putra Ketua DPR Bambang Soesatyo. Pertemuan ini tentu saja tidak dibenarkan secara etik, karena Bambang Soesatyo adalah saksi dalam perkara e-ktp (perkara masih ditangani oleh KPK). Berdasarkan kode etik KPK, huruf B terkait dengan integritas, tambahan angka 4,  KPK harus menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitas sebagai Pimpinan Komisi. Sehingga, apabila ada argumentasi bahwa pertemuan ini adalah urusan pribadi, maka pendapat tersebut salah besar. Sejak mengucap sumpah jabatan sebagai pimpinan KPK, perilaku mereka sudah terikat dengan kode etik.

Selain itu, pertemuan ini pun tidak dibenarkan secara undang-undang. Berdasarkan pasal 36 UU KPK, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.

Kondisi seperti ini tentu tidak boleh dianggap sepele. Siapapun yang menjadi bagian dari KPK harus menjunjung tinggi penegakan etik di lembaga tersebut. Pegawai tidak terkecuali pimpinan KPK, harus berusaha menjauhkan diri dari potensi konflik kepentingan, tidak terkecuali pimpinan. Maka dari itu, kami dari koalisi masyarakat sipil antikorupsi menuntut agar:

  1. Semua unsur di KPK termasuk pimpinan agar mematuhi pedoman kode etik yang berlaku.

  2. Menegakkan pengawas internal serta melakukan pemeriksaan etik terhadap Deputi Penindakan KPK atas informasi yang beredar di sejumlah pemberitaan.

  3. Melakukan pemeriksaan etik terhadap pimpinan KPK serta membentuk komite etik jika diperlukan.  

Jakarta, 26 September 2018

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags