Politik Penaklukan KPK

Pelaksana tugas jubir bidang penindakan KPK, Ali Fikri, dan Wakil Ketua KPK Alexander Mawarta saat konferensi pers perkara suap Bupati Sidoarjo di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu malam, 8 Januari 2020. TEMPO/Lani Diana (kolom.tempo.co)
Pelaksana tugas jubir bidang penindakan KPK, Ali Fikri, dan Wakil Ketua KPK Alexander Mawarta saat konferensi pers perkara suap Bupati Sidoarjo di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu malam, 8 Januari 2020. TEMPO/Lani Diana (kolom.tempo.co)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dipandang sebagai anomali bagi kalangan politikus dan pebisnis yang korup. Ini karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi cukup terbukti cukup efektif menghasilkan salah satu Komisi Anti-Korupsi terbaik di dunia. Tapi layaknya strategi “Kuda Troya”, para pengkritik KPK memaksakan usulan agar lembaga tersebut lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan tindak pidana. Pada akhir tahun 2019, gagasan-gagasan yang bertujuan melemahkan gerakan pemberantasan korupsi terutama KPK, memperoleh banyak dukungan politik dan akhirnya berhasil menjadikannya sebagai kenyataan politik-ekonomi dalam bentuk revisi Undang-Undang KPK.

Nasib gerakan anti-korupsi di Indonesia sesungguhnya sangat tergantung pada sejauh mana peran pemimpin negara mendukung dan menjaga kepentingan KPK dari gempuran elit. Mari kita memusatkan perhatian pada kinerja KPK dalam periode pertama kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) dan pasang surutnya gerakan anti korupsi di Indonesia.

Kepresidenan Jokowi

Dalam sejarah politik ekonomi Indonesia, presiden kerapkali bersikap setengah hati atau berlawanan terhadap gerakan anti-korupsi. Perjalanan politik Jokowi sebagai presiden terdiri dari dua macam sikap itu dan pada gilirannya memperparah pasang surutnya gerakan anti-korupsi di Indonesia.

Di satu sisi, presiden Indonesia sekarang, Jokowi dapat dianalisa dari segi bagaimana dia mengembangkan gaya kepemimpinan politiknya yang populis dalam rangka merebut kekuasaan politik melalui proses pemilihan secara demokratis. Walaupun dia tidak menguasai partai politik manapun dan tidak memiliki kecerdasan politik mendasar, Jokowi mengandalkan keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia dan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri, serta memperbaharui strategi politik Soekarno yang disebut “Turun ke Bawah” (Turba), untuk berinterakasi bersama wong cilik.

Secara strategis praktik politik ini terfokus pada upaya memobilisasi massa dan disebut sebagai blusukan. Praktik politik blusukan yang biasanya terkenal sebagai tontonan politik, terkait erat dengan interaksi di antara tokoh politik dengan rakyat, dikembangkan sedemikian rupa sehingga difungsikan sebagai keunggulan politik kompetitif Jokowi, untuk mendukungnya mencapai empat kemenangan kontestasi politik; Wali Kota Solo 2005, Gubernur DKI Jakarta 2012, serta Presiden 2014 dan 2019. Dalam periode lima tahun sejak presiden terpilih sampai periode kepresidenan berikutnya berlangsung praktik blusukan, baik dalam bentuk tontonan peresmian proyek prasarana, maupun berupa kuis yang disertai pembagian hadiah seperti sepeda.

Tesis tentang Jokowi selaku pemimpin politik yang membawa perubahan politik mendasar, sebagaimana dicap merupakan permulaan zaman budaya politik “pasca Jawa” (SindoNews) hanya dapat dinilai relevan apabila ‘lensa analisa’ difokuskan secara spesifik, kepada hubungan politik Jokowi dengan praktik blusukan dengan rakyat, sebagai tabir permainan politik yang sesungguhnya di kalangan elit (NewMandala).

Di sisi lain, nyatanya dalam kontestasi politik dan bisnis di tingkat elit, berlangsung permainan politik uang yang sengit dan cara-cara presiden bersaing atau menghadapi para pembesar politik lawan, permainan korupsi politiklah tetap berimbang, mendasar, dan melembaga. Dalam konteks ini, harus diperhitungkan bahwa aliansi politik-ekonomi informal di antara Jokowi dan pembesar paling dekat, yaitu Menko Kemaritiman dan Investasi Jenderal Purnawirawan Luhut Pandjaitan, sangat menentukan. Sambil mengemban ‘tugas informal’ sebagai ‘political fixer’ atau semacam penyelesai persoalan-persoalan politik dan ekonomi atas nama Jokowi secara intensif, kekuasaan Luhut dalam kabinet atau pemerintahan memang besar (NewMandala) dan termanifestasi dalam campur tangan kukuhnya terkait berbagai bidang, penegakan hukum, energi (Inalum, Masela, sektor pelistrikan antara lain), perdagangan, bidang luar negeri sampai perebutan kekuasaan dalam partai politik besar seperti Golkar. Dalam hal ini Faisal Basri seorang ahli ekonomi terkenal menyindir: “Kalau [Jokowi] ingin meningkatkan peran Pak Luhut, angkat saja jadi Perdana Menteri sekalian.” Oleh karena itu Jokowi telah mengonsolidasi landasan dan batas kekuasaannya, tapi pada waktu yang sama tuntutan permainan politik uang terus berlangsung dan semakin parah.

Pasang Surut Gerakan Anti-Korupsi

Seorang pakar ilmu politik Michael Johnston menghimbau betapa pentingnya pelembagaan “proses demokratisasi mendalam” di mana peranan masyarakat sipil seharusnya memimpin gerakan anti-korupsi dan menentukan hasil kontestasi sosio-politik. Himbauan tersebut tentu saja tidak mudah terwujud dan tidak menjelaskan babak akhir dari kontestasi dan perselisihan di tingkat elit. Di akhir tahun 2019, tekanan sosial politik para pegiat anti-korupsi terkenal, serta aksi protes mahasiswa berupa demonstrasi damai yang muncul di kota-kota seluruh Indonesia. Namun, semuanya itu tidak mempan mendesak elit penguasa untuk menjaga kepentingan KPK. Malahan, suatu konvergensi strategis di antara pembesar politik berlawanan, justru jauh lebih berperan dalam mempreteli kemandirian dan pelemahan otoritas KPK

KPK di Permulaan Periode Kedua Presidenan Jokowi (2019-24)

Biasanya pada akhir masa baktinya, anggota-anggota DPR mengurus legislasi yang tidak substantif atau mulai berkampanye di daerah masing-masing. Tapi secara mendadak, tindakan politik yang berlangsung masif dan intensif dalam kurun waktu singkat dari Agustus-Oktober 2019 oleh koalisi politik Jokowi dan Megawati, tersalur dalam bentuk serangan balik dahsyat terhadap KPK. Tapi harus dipertanyakan apa pemicunya? Berdasar investigasi jurnalisme Tempo, kita dapat menyimpulkan bahwa pemicu utama serangan balik tersebut terkait erat dengan penyelenggaraan kongres PDIP di Bali, saat KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 7 Agustus 2019. Operasi tangkap tangan KPK merupakan bagian penting dari penanganan kasus korupsi yang menyangkut impor bawang putih yang belakangan disebut menyeret anak petinggi partai tersebut. Diberitakan pula dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta politikus PDI Perjuangan Nyoman Dhamantra divonis bersalah ‘menjual’ jatah kuota impor bawang putih dari Tiongkok kepada pengusaha Chandra Suanda (alias Afung). 

Dalam konteks ini Jokowi bertindak tegas untuk memihak logika penyerangan politik dimotori Megawati dan kubu politiknya melawan KPK. Salah satu “petugas partai” PDIP di bawah pimpinan Megawati, yaitu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, ditugaskan mengurangi kekuasaan KPK dengan mengurus revisi Undang-Undang KPK, mengawal perundingan politik dengan DPR, serta menjauhkan pimpinan KPK, termasuk Agus Rahardjo, dari proses pembuatan undang-undang tersebut.

Pada saat mereka berupaya menyembunyikan proses pembuatan undang-undang yang cacat, terburu-buru dan tidak transparan itu, sejumlah politisi PDIP ‘pasang badan’ meladeni kritikan para penggiat anti-korupsi dan tokoh masyarakat madani yang berbeda pendapat soal revisi Undang-Undang KPK 2002. Kelompok pendukung revisi bahkan menyesatkan perdebatan publik menggunakan dalih sesat dan tidak benar (CNN), seperti ada ‘masalah internal’ dalam KPK berupa penyusupan jaringan Islam radikal, Taliban. Tujuan politik mereka adalah membenarkan upaya memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia lewat revisi Undang-Undang KPK.

Dengan mengorbankan modal keabsahan politik besar berkat kemenangan Pilpres 2019, Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang KPK dan perekrutan kontroversial pimpinan KPK baru, terutama ketua Firli Bahuri. Hasil rapat petinggi koalisi politik Jokowi pada tanggal 30 September 2019, dihadiri Jokowi, Megawati, Surya Paloh dan pembesar lain, sudah jelas mereka berbicara dalam ‘satu bahasa yang sama.’ Berkaitan dengan retorika politik, Jokowi menyatakan bahwa Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang Revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi merupakan perubahan hukum terbatas dan bakal menyempurnakan organisasi dan kinerja KPK. Tapi dari kaca mata realita politik-ekonomi, perubahan hukum itu pada hakikatnya sangat reaktif, menghancurkan dan menaklukan KPK.

Oleh karena itu, pengendalian politik terhadap KPK telah terwujud dengan pemberlakuan Undang-Undang KPK 2019 tertanggal 17 Oktober 2019. KPK selaku lembaga anti-korupsi independen, berubah menjadi lembaga di bawah pemerintah pusat yang terfokus pada pencegahan korupsi, ala Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2018 berdasar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018. Dengan demikian, kekuasaan KPK telah dibatasi menjadi di bawah pengendalian politik langsung presiden, dan di bawah Dewan Pengawas (Dewas) yang berfungsi sebagai kendali terhadap proses pengambilan keputusan pimpinan KPK. Apabila pimpinan KPK mengajukan permohonan terkait penggunaan fungsi penyadapan termasuk operasi tangkap tangan, maka pimpinan harus mendapatkan izin dari Dewas. Jadi proses pengambilan keputusan ini rentan diintervensi dari segi proses penyidikan, penyadapan, penggeledahan dan penyitaan serta penuntutan kasus korupsi tertentu. Kita menyimpulkan bahwa sejak ujung 2019 adalah pertama kali dalam sejarahnya, KPK ditaklukkan dan dikendalikan secara politik, dan kelak dijadikan semacam alat politik supaya berpihak kepada kepentingan presiden Jokowi dan kubu politiknya serta Ketua PDIP Megawati. Jadi analogi paling tepat untuk mengerti KPK sekarang ini bukan ‘superman sudah mati atau mati suri’  (TribunNews) melainkan superman sudah dipaksa memakai kalung terbuat dari ‘batu kryptonite’  (Undang-Undang KPK baru) secara melekat agar semakin rentan diperlemah dan dibengkokkan sesuai kepentingan dan kemauan penguasa.   

Sejak pertengahan Oktober 2019, kinerja KPK mengendor, melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pemanggilan saksi dan tersangka semakin lamban. Dalam dua bulan pertama sejak Undang-Undang KPK disahkan, tidak terlihat adanya tindakan operasi tangkap tangan. Namun pada awal Januari 2020, tindakan operasi tangkap tangan kembali muncul di mata publik, berdasarkan atas keputusan yang berlaku yang diwariskan dari periode kepemimpinan Agus Rahardjo ke periode pimpinan Firli. Tindakan KPK ini dimotori oleh penyidik-penyidik yang handal dan gigih yang patuh sama sistem nilai KPK yang lama. Dalam konteks ini, pada tanggal 8-9 Januari 2020 upaya operasi tangkap tangan dan penggeledahan yang menyangkut kasus korupsi KPU bermuara pada lokasi dugaan perbuatan tindak pidana di kantor Pusat PDIP dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tapi digagalkan oleh tiadanya dukungan tegas pimpinan KPK dan Dewas. Kinerja KPK yang kacau-balau itu membuktikan pemberlakuan dan pelaksanaan Undang-Undang KPK 2019 yang baru memang merusak. Walaupun susah memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan, yang pasti secara keseluruhan masa depan KPK terlihat gelap dan memprihatinkan.

Jeremy Mulholland, Peneliti dan Indonesianis dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia. Penelitian ilmiahnya termasuk sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (NewMandala); dan Korupsi Politik di Indonesia.


Arbi Sanit, Pakar Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.

Oleh : Jeremy Mulholland dan Arbi Sanit
Selasa, 28 Januari 2020 15:46 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan