Senjakala Demokrasi

Gambar: Wikimedia
Gambar: Wikimedia

Hasil pemilihan umum telah diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia(KPU RI). Kontestasi pemilu lima tahunan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta para wakil rakyat dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat nasional belum selesai. Kini medan pertarungan berpindah ke Mahkamah Konstitusi. 

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih. Pihak yang kalah mengajukan keberatan dan tak menerima kekalahan karena merasa telah terjadi kecurangan.  Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dianggap dari hasil kecurangan berupa penggunaan sumber daya negara seperti bansos dan mobilisasi birokrasi dan pemanfaatan aparat penegak hukum untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Dua pasangan yang kalah mendalilkan kemenangan yang diraih menciderai demokrasi dan supremasi hukum. Pemilu yang berlangsung jauh dari prinsip jujur dan adil. 

Lantas, mereka yang kalah mengajukan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu sebagai upaya untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum. Mahkamah konstitusi (MK) dianggap sebagai benteng terakhir untuk menyelamatkan demokrasi yang sedang mengalami kemunduran. Pertanyaannya, apakah Mahkamah Konstitusi bisa menyelamatkan demokrasi Indonesia?

Saya agak pesimis dengan proses yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Saya tak berharap banyak dan meragukan MK bisa mengambil putusan yang progresif untuk menjaga agar kemunduran demokrasi tak semakin dalam. Secara kelembagaan, MK memiliki kewenangan yang sangat terbatas, terutama untuk menggali dugaan kecurangan pemilu terutama yang terkait dengan kebijakan yang diambil oleh presiden atau pemerintah yang dianggap menguntungkan salah satu pasangan calon. 

Terlebih, MK terkadang terjebak sebagai Mahkamah Kalkulator yang hanya melihat angka dan selisihnya (kuantitatif) dan kurang mempertimbangan aspek kualitas (kwalitatif). Jauh lebih menarik wacana yang dihembuskan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hak angket untuk memeriksa kebijakan yang diambil oleh presiden apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undang yang berlaku serta asas asas umum pemerintahan yang baik.

Sayangnya, wacana angket dugaan kecurangan pemilu yang pernah mengemuka dan sempat memanas dalam perjalanannya mulai redup. Angket sebagai hak konstitusional para anggota DPR “layu sebelum berkembang”. Wacana angket yang dikemukakan elite partai politik mulai mengendur seiring dengan godaan jatah menteri serta keinginan untuk mengamankan diri dan kelompok. Tak ada yang secara terbuka dan meyakinkan untuk menjadi oposisi dan berkeinginan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pemilu agar menjadi pembelajaran di masa depan.

Agenda menyelamatkan demokrasi dan negara hukum seperti terlambat dan terkesan sebagai retorika politik belaka. Pasalnya, kenyataan kemunduran demokrasi di Indonesia sudah berlangsung sebelum tahapan pemilu dilakukan. Bahkan diantara mereka baik sebagai individu maupun bagian dari partai politik atau kelembagaan legislatif maupun eksekutif yang membiarkan atau terlibat secara langsung sadar maupun tidak sadar membunuh demokrasi secara pelan-pelan.

Para peneliti baik di dalam maupun diluar negeri sudah lama menerangkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Mereka menyebutnya dengan berbagai istilah, seperti democratic seatback (Hadiz, 2017) democratic regression (Aspinall dan Warburton, 2018) atau democratic recession (Aspinall dan Mietzner, 2019). 

Pemilihan umum yang berlangsung baru baru ini justru semakin mempertebal tesis para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri terkait fenomena kemunduran demokrasi di Indonesia. Tanda tanda kemunduran demokrasi kita sudah mengemuka seperti melemahnya agenda pemberantasan korupsi yang ditandai dengan indeks persepsi korupsi yang semakin memburuk, komisi pemberantasan korupsi yang dilemahkan dan mengalami pembusukan oleh para pimpinan yang secara moral bermasalah serta pegawai yang secara nyata terlibat dalam kasus korupsi. Tanda tanda lainnya adalah undang undang yang dipaksakan seperti Undang Undang Cipta Kerja dan Undang Undang Kitab Hukum Pidana yang disahkan tanpa proses yang deliberatif atau melalui proses partisipasi yang bermakna (meaningfull participation).

Jika para calon presiden dan wakil presiden beserta para partai politik pendukungnya menyatakan kemunduran demokrasi. Kenyataannya jauh hari sudah terjadi dan mereka bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi tersebut.

Saya masih ingat, bagaimana ratusan mahasiswa di Makassar dan di berbagai tempat di tanah air harus ditangkap, mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi atas protes mereka terhadap rancangan undang undang cipta kerja yang secara ugal-ugalan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sama halnya dengan Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang juga telah disahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi berada pada titik terlemahnya sepanjang sejarah keberadaanya karena dilemahkan lewat revisi undang undang serta pimpinan bermasalah yang sengaja diloloskan untuk memimpin lembaga antirasuah tersebut.

Atas dasar itu, saya kira unsur terpenting untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia di masa depan adalah dengan kekuatan masyarakat sipil yang terkonsolidasi yang mampu mendorong agenda penguatan demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia di masa depan. Menyelamatkan demokrasi dan membangun demokrasi tak bisa diharapkan pada elite politik semata ditengah politik yang sangat transaksional, pragmatis dan sangat klientalistik.

Seruan moral dan pernyataan para guru besar dan akademisi dari berbagai kampus sebelum penyelenggaraan pemilu maupun setelah penyelenggaraan pemilu menjadi modal awal dan penting untuk merajut kembali demokrasi dan negara hukum yang telah dicabik-cabik. Petisi dan seruan moral yang mengemuka dan menggema di berbagai tempat di tanah air merupakan wujud nyata bahwa demokrasi adalah milik bersama yang harus dirawat, dijaga dan dipertahankan. Tak ada satu kekuasaan pun yang boleh merusaknya, apalagi untuk kepentingan kekuasaan semata. Seruan ini harus digemakan dan diwujudkan dalam aksi bersama yang terencana dan terukur yang dilandasi komitmen yang kuat menjaga dan menguatkan demokrasi sebagai aset bersama.

Mengutip Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita ; “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan kembali muncul dengan penuh keinsyafan. Berlainan dengan negara lainnya di Asia Tenggara, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup, sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selamanya”. 

Kemunduran demokrasi memang sudah kenyataan yang tak bisa dibantah. Penyelenggaran pemilu mempertebal bahwa demokrasi yang diperjuangkan dua dekade lalu melalui momen berdarah-darah terpaksa tergulung oleh keinginan sekelompok orang bahkan keluarga yang punya ambisi kekuasaan tanpa batas.

Di masa yang akan datang, kita akan menghadapi ancaman yang semakin berat, apa yang kita khawatirkan satu persatu mulai mengemuka. Demokrasi di Indonesia di masa yang datang sangat bergantung pada kekuatan masyarakat sipil.

 

Penulis, 

Ady Anugrah Pratama

(Alumni Sakti 2017)

 

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan