Regresi Pemberantasan Korupsi Meski Indeks Persepsi Korupsi Naik
Transparansi Internasional Indonesia (TII) baru saja memublikasikan Corruption Perception Indeks atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024. Hasilnya, IPK Indonesia menunjukkan perkembangan positif dengan naik 3 poin menjadi 37 dari tahun sebelumnya yang stagnan di angka 34. Dengan kenaikan indeks ini, peringkat Indonesia terdongkrak menjadi peringkat 99 dari 180 negara.
Meskipun secara umum merangkak naik, Indonesia mengalami penurunan skor pada tiga sumber data IPK, yaitu terkait penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik yang melibatkan tiga rumpun kekuasaan, dan penyuapan kegiatan bisnis seperti ekspor, impor, dan perolehan kontrak publik. Skor Indonesia kali ini juga masih merosot dibandingkan dengan skor tertinggi yang pernah Indonesia dapat, yaitu 40 pada 2019. Sehingga, kenaikan skor IPK 2024 masih menyisakan banyak catatan dan tak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa kondisi antikorupsi Indonesia membaik. Terlebih untuk menghadapi tahun pasca politik dan beragam kebijakan baru pemerintah yang mempunyai kerentanan korupsi cukup tinggi.
Kenaikan skor IPK 2024 utamanya disebabkan adanya penambahan indikator World Economic Forum (WEF) yang terakhir kali masuk indikator IPK pada 2021. WEF, seperti yang dijelaskan TII, adalah indikator yang mengukur tentang seberapa wajar perusahaan melakukan pembayaran tambahan atau suap yang tidak tercatat. Meski skor WEF 2024 naik signifikan dibandingkan skor pada 2012-2021, adanya indikator ini perlu dicatat sebagai indikator baru yang hadir karena Indonesia memberi tanggapan untuk survei, yang kualitas datanya juga masih perlu dikhawatirkan setelah vakum 2 tahun.
Sumber data IPK 2024 lainnya, yaitu Global Insight Country Risk Ratings di tahun 2024 malah turun 15 poin dibanding tahun 2023. Indikator ini mengenai resiko penyuapan dalam impor/ekspor, memperoleh kontrak publik, dan melakukan kegiatan bisnis lainnya. Penjelasan indikator ini mirip dengan WEF sehingga dapat dikatakan bahwa skor indikator WEF bertolak belakang dengan skor Global Insight Country Risk Ratings.
Indikator lain yang berkaitan dengan tema CPI 2024 Korupsi, Demokrasi, dan Krisis Lingkungan adalah Varieties of Democracy Project. Indikator korupsi politik yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tercermin dalam korupsi sumber daya alam di Indonesia. Kajian ICW mengenai bisnis ekstraktif dan energi terbarukan di balik Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang ekstraktif berelasi kuat dengan para penguasa atau pejabat terpilih untuk mengamankan usahanya (ICW, 2024). Pemerintah daerah dan eksekutif memberikan izin ekstraktif, pemilik perusahaan diberikan karpet merah oleh legislatif, dan keberpihakan yudikatif kepada perusahaan jika masyarakat berteriak di pengadilan akan dampak lingkungan yang dialami.
Selain itu, realitas pemberantasan korupsi berjalan sebaliknya di tahun 2024. Terdapat tiga alasan pemberantasan korupsi cenderung berjalan regresif dan diproyeksikan akan berlanjut di tahun 2025.
Pertama, tidak ada inisiatif program ataupun kebijakan antikorupsi yang secara sistematis diimplementasikan oleh pemerintah sepanjang 2024 dan direncanakan pada 2025. Upaya pemberantasan korupsi seolah tebang pilih atau cherry picking untuk menangani para pihak yang berada pada pusaran kasus korupsi dan merupakan pejabat penting. Beberapa diantaranya yakni kasus dugaan korupsi CSR Bank Indonesia yang patut diduga berkelindan dengan Gubernur BI dan sejumlah anggota DPR, kasus dugaan korupsi pembangunan jalur kereta di Kementerian Perhubungan yang patut diduga aliran dananya masuk untuk membiayai Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2019, dan kasus dugaan korupsi pengadaan barang pada rumah jabatan anggota DPR yang patut diduga melibatkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.
Kedua, lahirnya upaya pengerdilan terhadap definisi korupsi sehingga menormalisasi konflik kepentingan, anti meritokrasi, dan nepotisme yang berimplikasi terhadap rusaknya sistem demokrasi dan hukum antikorupsi Indonesia. Maraknya bagi-bagi kursi, kembalinya TNI dan Kepolisian di jabatan publik, banyaknya pasangan calon pada Pilkada lalu yang terafiliasi dengan dinasti politik, hingga praktik mengacak-acak aturan agar anak Presiden Jokowi dapat berlaga di kontestasi politik merupakan titik terendah sejarah demokrasi di Indonesia yang sangat besar melahirkan pemerintahan yang semakin berpotensi korup. Korupsi secara ideal tidak terbatas hanya pada hilangnya uang negara atau perekonomian negara, namun saat adanya sistem yang rusak karena mendahului kepentingan pribadi atau kelompok, dapat diartikan sebagai bentuk yang koruptif. Pengerdilan definisi tersebut mengisyaratkan bahwa tumpulnya logika pemerintah dalam menyusun agenda pemberantasan korupsi.
Ketiga, tidak adanya keinginan dari pemerintah untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi melalui penguatan regulasi, diantaranya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal. Meskipun skor IPK naik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun lalu, baik pemerintah ataupun DPR tidak memiliki keinginan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi melalui regulasi. ICW memandang bahwa alasan utama dibalik keengganan penguatan hukum antikorupsi, baik RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal, yaitu karena regulasi ini akan mengancam stabilitas pejabat publik yang korup karena upaya mereka untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri akan mendapat jerat hukum lebih besar dan terekspos ke publik.
Presiden Prabowo pernah menyampaikan adagium "ikan busuk dari kepala". Tentu upaya pemberantasan korupsi ke depan harus diinisiasi dan dikawal penuh oleh dirinya selaku Kepala Pemerintahan. Meski demikian, setelah 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, publik tidak melihat upaya progresif untuk memberantas korupsi, malah terlihat regresif. Artinya, Presiden Prabowo sedang mengkritik dirinya sendiri yang berpotensi atau sedang mengarah menjadi "kepala yang akan membusuk".
Narahubung
Agus Sunaryanto - Koordinator ICW
Dewi Anggraeni - Peneliti ICW
Wana Alamsyah - Peneliti ICW