Polri Patut Diduga Tidak Memahami Esensi Keterbukaan Informasi Publik Dalam Sengketa Informasi Terkait Dokumen Pengadaan Gas Air Mata
Sidang lanjutan sengketa informasi publik antara ICW melawan Polri terkait dokumen pengadaan gas air mata senilai Rp700 miliar tidak menemukan titik terang. Polri bersikeras menutup informasi yang seharusnya menjadi hak publik.
Agenda sidang yang berlangsung pada 10 Desember 2024 di Komisi Informasi Pusat berkaitan dengan penyerahan hasil uji konsekuensi oleh Polri selaku Termohon. Sebagai informasi, ICW meminta 25 jenis dokumen pada 10 kontrak pengadaan sesuai dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Berdasarkan hasil uji konsekuensi yang dilakukan oleh Polri tertanggal 24 November 2024, diketahui bahwa seluruh informasi yang diminta oleh ICW dinyatakan tertutup.
Polri menggunakan dasar Pasal 17 ayat c Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menyatakan informasi dikecualikan jika berpotensi mengganggu pertahanan dan keamanan negara, seperti strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik. Hal tersebut tentu keliru karena ICW tidak meminta informasi mengenai pertahanan dan keamanan negara, melainkan dokumen pengadaan terhadap sejumlah gas air mata yang dibeli oleh Polri.
Selain itu, Polri pun juga menyerahkan jawaban yang semakin tidak relevan dengan menyertakan proses pengadaan senjata non-mematikan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Israel, Rusia, bahkan Tiongkok. Alih-alih memperkuat argumen, pernyataan ini memperlihatkan lemahnya pemahaman Polri terhadap esensi keterbukaan informasi publik.
Buruknya pemahaman Polri terkait keterbukaan informasi publik pun juga terlihat saat mereka melemparkan tanggung jawab ke lembaga lain yakni Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai pihak yang bertanggung jawab membuka dokumen pengadaan. Padahal, Polri adalah lembaga publik yang terikat dalam UU KIP dan berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada publik mengenai kinerja-kinerjanya.
Dari sidang ini, terdapat kesan bahwa Polri tidak memahami tujuan dari permintaan informasi oleh ICW. Publik berhak untuk mengetahui bagaimana Polri mengelola anggarannya, terlebih terhadap pengadaan alat yang kerap digunakan untuk menyerang masyarakat sipil seperti gas air mata.
Informasi berkaitan dengan pengadaan barang/ jasa pemerintah juga penting untuk dibuka karena akan menjadi basis publik melakukan mekanisme check and balances. Sebab, ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil menemukan adanya kesalahan input yang dilakukan oleh Polri saat membeli alat Pepper Projectiles Launcher. Tanpa adanya mekanisme pengawasan oleh masyarakat, menjadikan Polri tidak akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan yang mereka lakukan.
Oleh sebab itu, ICW mendesak agar:
- Komisi Informasi Pusat untuk mengabulkan permohonan informasi yang diajukan oleh ICW terkait pengadaan pembelian gas air mata;
- Polri segera membuka dokumen pengadaan berkaitan pembelian gas air mata yang nilainya lebih dari Rp700 miliar
Narahubung
Wana Alamsyah (Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan)
Diky Anandya (Staf Divisi Hukum Monitoring Peradilan)