Politisi Muda Kok Korupsi?
Generasi muda dicita dan dicitrakan menjadi harapan perubahan dan perbaikan peradaban. Namun, dalam politik pemerintahan yang terlampau korup, dapatkah politisi muda menahkodai perubahan agar intisari politik tak hanya kekuasaan, melainkan juga kebaikan bersama?
Nur Afifah Balqis (NAB) masih berusia 24 tahun ketika terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia terseret kasus suap Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafar Ma’sud. Ironis, NAB diduga tidak hanya berperan pasif dalam kasus suap berkaitan dengan proyek di sejumlah dinas di Kabupaten PPU. NAB yang merupakan bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan tersebut bertindak sebagai penampung dan pengelola suap sang bupati.
Ditetapkan sebagai tersangka, NAB resmi menyandang predikat koruptor termuda di Indonesia. Tak sedikit publik yang menyayangkan perilaku korup NAB melampiaskan kekecewaan melalui sosial media. Hal tersebut lebih-lebih dikarenakan NAB merupakan paradoks di tengah harapan publik pada generasi muda. Terlebih lagi, NAB adalah seorang perempuan yang mempunyai konstruksi sosial tersendiri di mata publik.
Meski termuda, NAB bukan satu-satunya politisi muda yang tersangkut korupsi. Sang bupati Abdul Gafur Mas’ud juga masih terbilang muda. Ia berusia 34 tahun saat ditangkap KPK. Adik dari Walikota Balikpapan Rahmad Mas’ud ini terpilih menjadi bupati saat usianya belum genap 31 tahun.
Selain mereka, pada 2011 terbongkar korupsi pembahasan anggaran pengalokasian Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) yang melibatkan anggota DPR RI Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati dan pengusaha yang juga politisi Golkar Fahd El Fouz. Pada saat itu, Wa Ode sebaga penerima suap baru berusia 30 tahun dan Fahd sebagai pemberi suap berusia 29 tahun. Bahkan, kepala daerah yang mendapat rekor MURI pada 2016 sebagai walikota termuda, yaitu Walikota Tanjungbalai M. Syahrial, ditetapkan sebagai tersangka korupsi saat usianya 33 tahun.
Muda dan menduduki jabatan strategis di partai politik maupun pemerintahan nyatanya tak membuat nama-nama di atas dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki masalah penyelenggaraan negara yang korup. Mereka justru berlaku sama dengan pemain lama dan melanggengkan penyakit korupsi. Lalu, apa yang membuat politisi muda ini tak mampu melawan korupsi dan justru terjerembab menjadi koruptor?
Mengapa Harapan Politisi Muda Bebas Korupsi Tak Sepenuhnya Mudah Terwujud?
Menelisik faktor penyebab politisi muda tak jauh berbeda dari pendahulunya penting dimulai dengan melihat motif, dari mana, dan bagaimana mereka memasuki panggung politik. Meski telah banyak dimasuki generasi muda, politisi muda kita banyak yang berasal dari kalangan pengusaha dan dinasti politik. Terlebih mereka yang dengan instan dapat memenangi kontestasi pemilu dan memimpin partai politik di daerah. Tentu tak semua, namun jumlahnya tak juga dapat dikatakan sedikit.
Tanpa modal besar dan darah biru politik, anak muda butuh kerja ekstra untuk diakui dan dipercaya menduduki posisi strategis. Di tengah krisis role model ideal, politisi muda kemudian menyaksikan dan mencontoh bagaimana pendahulunya mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kuasa. Baik secara langsung dan tidak langsung, mereka terbawa pada kebiasaan yang umum terjadi. Jika tidak, mereka akan dinilai asing, dikucilkan, dan tipis peluang dicalonkan dalam pemilu, menduduki komisi “basah” di legislatif, memimpin partai, dan sebagainya.
Persoalan lain yang krusial adalah partai politik dan pemilu yang tidak sehat. Partai politik yang problematik dari aspek demokrasi internal, kaderisasi, dan pendanaan bukan wadah yang ramah terhadap anak muda yang membawa perubahan. Demikian pula pemilu yang diwarnai berbagai jenis politik uang. Dengan masalah tersebut, politisi muda “mau tidak mau” ikut aturan main untuk mempunyai kesempatan dan logistik yang cukup agar mereka dapat bertahan dan menduduki jabatan yang diinginkan.
Dengan demikian, harapan politisi muda dapat mengubah “dari dalam” sebagaimana yang kerap digaungkan memerlukan prasyarat penting yang tak bisa ditawar, yaitu pembenahan serius partai politik dan pemilu. Tanpa pembenahan tersebut, politisi muda hanya akan menjadi pendatang baru yang tak ubahnya politisi pendahulunya. Di sisi lain, politisi muda juga perlu menyadari bahwa mengelola partai dan negara lebih-lebih untuk melayani publik, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Penulis: Almas Sjafrina
Editor: Siti Juliantari