Policy Paper Kerugian Ekologis dalam Perkara Korupsi Sektor Sumber Daya Alam

Hukumonline.com
Hukumonline.com

Indonesia Corruption Watch (ICW), bersama dengan dua orang ahli, yakni Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M (Akademisi di Departemen Hukum Lingkungan, Universitas Gadjah Mada) dan Roni Saputra, S.H., M.H (Direktur Penegakan Hukum, Auriga Nusantara) telah menyusun kajian dalam bentuk kertas kebijakan mengenai “Implementasi dan Pengaturan Valuasi Kerugian Ekologis dalam Perhitungan Kerugian Ngeara di Perkara Korupsi Sektor Sumber Daya Alam.”

Adapun kajian ini disusun dengan berangkat pada pemikiran bahwa kerugian sosial dari tindak pidana korupsi, pada prinsipnya tidak dapat diukur hanya pada seberapa besar uang negara yang dikorupsi. Lebih dari itu, kerugian juga perlu mencakup hingga hilangnya output akibat kesalahan alokasi sumber daya, distorsi insentif dan inefisiensi lainnya lainnya yang disebabkan oleh korupsi. Termasuk diantaranya, korupsi di sektor SDA, terutama lingkungan dan pertambangan yang menimbulkan dampak buruk terhadap distribusi pendapatan dan kerusakan ekologis.

Namun sayangnya, penegakan hukum terhadap perkara korupsi di sektor SDA, belum mampu memulihkan kerusakan lingkungan ke dalam kondisi semula, seperti saat sebelum terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sejatinya, aparat penegak hukum sendiri sudah memulai terobosoan dengan memasukkan unsur kerugian ekologis dalam surat dakwaan dan penuntutan agar menjadi tanggung jawab terdakwa untuk membayar dalam bentuk pidana tambahan uang pengganti. Akan tetapi, tuntutan Jaksa terkait hal tersebut dalam sejumlah perkara korupsi, seperti korupsi ekspor minyak goreng mentah (CPO), sampai kasus korupsi pembukaan lahan sawit di kawasan hutan yang melibatkan Surya Darmadi, ditolak oleh hakim.

Kertas kebijakan yang telah disusun dapat diakses pada tautan di bawah ini. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan