Polemik Revisi UU TNI: Sudah Saatnya Pembahasan UU Sembunyi-Sembunyi Dihentikan

Sumber foto: Tirto

Kritik keras publik layak ditujukan pada tabiat pemerintah dan DPR yang gemar membahas UU secara tertutup dan tidak partisipatif. Jika dilihat preseden sebelumnya, pembahasan yang sembunyi-sembunyi akan melahirkan UU dengan muatan materi bermasalah. Tanpa perlawanan publik, revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) akan bernasib sama dengan revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Aparatur Sipil Negara.

Di tengah banjir kritik publik, DPR hari ini masih melanjutkan proses pembahasan revisi UU TNI. Sikap DPR patut dipertanyakan, mengingat RUU TNI sebelumnya tidak masuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2025 yang ditetapkan 19 November 2024. RUU TNI baru diusulkan masuk prolegnas prioritas sebagai inisiatif pemerintah pasca dikeluarkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. Usulan tersebut disetujui melalui rapat paripurna 18 Februari 2025. Sejak saat itu, pembahasan RUU TNI gencar dilakukan, melampaui pembahasan RUU yang ditunggu-tunggu publik, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
 

Tidak Mendesak, Tertutup, dan Boros

Selain dilakukan di hotel mewah Fairmont akhir pekan lalu, pembahasan RUU TNI dilakukan dengan proses yang kontradiktif dengan asas keterbukaan. Padahal, keterbukaan adalah salah satu dasar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bukti ketertutupan tersebut adalah simpang siurnya keberadaan naskah akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draf UU TNI teranyar. Di tengah polemik substansi RUU TNI, pemerintah dan DPR semestinya melipatgandakan transparansi pembahasan revisi UU tersebut.

Ketertutupan tersebut patut diduga dilatarbelakangi kepentingan yang bertolak belakang dari semangat reformasi, salah satunya yaitu perluasan karpet merah pengisian jabatan sipil oleh prajurit aktif. Membanjiri militer di kantor pemerintahan sudah lama dipersoalkan karena tak sesuai dengan Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pemilihan rapat pembahasan di luar gedung DPR juga tak tepat di tengah efisiensi anggaran negara. ICW memperkirakan rapat akhir pekan di Hotel Fairmont untuk membahas revisi UU TNI dapat menghabiskan anggaran sekitar Rp820.533.000,- hingga Rp1.248.933.333,-. Angka ini diperoleh dari perhitungan harga sewa kamar yang berkisar Rp2,250,000 untuk tipe deluxe room dan  Rp4.350.000 untuk tipe kamar suite room. Juga termasuk paket fullboard meeting sebesar Rp1.050.000/pax, serta biaya sewa ruangan yang berkisar Rp14.000.0000 hingga Rp130.000.000 untuk 2 hari meeting.

Meski Tata Tertib DPR mengatur rapat di luar gedung DPR dapat dilakukan atas persetujuan pimpinan DPR, keputusan rapat dengan biaya tambahan besar tersebut merupakan pemborosan uang negara. Tindakan itu sekaligus menunjukkan wakil rakyat yang tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi hari ini serta cerminan penggunaan anggaran negara yang ugal-ugalan. Pembahasan Revisi UU TNI dengan substansi yang cenderung mengarah pada kebangkitan dwifungsi militer tak layak diburu-buru hingga membutuhkan tempat menginap di hotel.

Sanggahan Stafsus Kementerian Pertahanan Deddy Corbuzier yang menyebut pembahasan revisi UU TNI di Fairmont Hotel tidak menggunakan APBN juga tak sejalan dengan keterangan yang disampaikan Sekjen DPR Indra Iskandar. Dalam keterangannya yang dikutip media, Indra Iskandar menyebut bahwa Hotel Fairmont memiliki kerja sama dengan DPR, sehingga DPR mendapat potongan harga. Pun tidak berbiaya, membahas UU di hotel secara tertutup di akhir pekan juga menutup akses publik untuk tahu.

Muatan Materi Bermasalah

Selain mekanisme pembahasan yang tertutup dan tidak partisipatif, RUU TNI juga memuat substansi yang bermasalah. RUU TNI berpotensi melahirkan kembali praktik dwifungsi ABRI. Salah satunya melalui rencana perluasan jabatan dan fungsi sosial politik yang dapat ditempati oleh militer. Sebelumnya, terdapat 10 kementerian dan lembaga strategis yang jabatannya dapat diduduki oleh TNI, namun kini diusulkan menjadi 15 lembaga. Perluasan jabatan dan penempatan TNI pada jabatan-jabatan sipil dapat berbahaya karena justru dapat mengurangi profesionalisme TNI dalam menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan negara yang merupakan fungsi utamanya. 

Perluasan jabatan TNI juga dikhawatirkan semakin berdampak pada menguatnya impunitas dari anggota TNI, termasuk ketika terlibat dalam kasus korupsi. Hal ini bahkan sudah terjadi sejak penindakan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Henri Alfiandi pada tahun 2023 lalu. Henri yang saat itu juga berstatus sebagai TNI aktif, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun penetapan tersangkanya ditentang oleh TNI dengan dalih bahwa penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa dilakukan selain oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Atas penentangan tersebut, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak bahkan menyampaikan permintaan maaf atas langkah KPK. Kasus ini menegaskan bahwa penempatan TNI pada jabatan-jabatan sipil justru berdampak buruk pada terhambatnya penindakan dan juga pemberantasan kasus korupsi. 

Dari contoh kecil di atas, kita dapat melihat bagaimana pendekatan militeristik yang cenderung otoriter dapat mengakar  dalam sistem pemerintahan dan menghambat demokratisasi apabila kita memperluas posisi-posisi sipil strategis yang dapat diduduki militer aktif.

Sejarah mencatat bahwa dwifungsi ABRI tidak memberikan dampak yang baik pada kelompok sipil. Sepanjang 32 tahun, aktifnya dwifungsi ABRI seringkali bertindak represif terhadap oposisi dan kelompok sipil. Masyarakat Indonesia harus membayar mahal untuk menghentikan dwifungsi ABRI dan menikmati demokrasi seperti hari ini melalui berbagai tragedi kemanusiaan pada Reformasi 1998. Maka, mengembalikan TNI ke barak menjadi sebuah keharusan. 

Untuk itu ICW mendesak agar: 

  1. DPR menghentikan seluruh proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak partisipatif; dan
  2. DPR mengakomodir seluruh aspirasi dan tuntutan publik yang menolak sejumlah substansi di dalam RUU TNI terkait potensi kembalinya “Dwifungsi ABRI”;

 

Selasa, 18 Maret 2025 

Indonesia Corruption Watch 

Narahubung: 

Nisa Zonzoa - Peneliti ICW (0857-7062-4102)

Seira Tamara - Peneliti ICW (0858-8599-0590)

Yassar Aulia - Peneliti ICW (0857-7790-4167)


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan