Penuhi Janji Reformasi Polri: KPK Harus Berani Adili Polisi Korup

Pada 23 Desember 2025, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) resmi melaporkan 43 anggota Kepolisian Republik Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan pemerasan.

Berdasarkan pemantauan ICW, dalam rentang waktu 2022–2025 terdapat empat kasus pemerasan yang melibatkan 43 anggota Polri, 14 orang diantaranya berpamgkat Bintara dan 29 orang lainnya berpangkat perwira. Seluruh kasus tersebut telah disidangkan di Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dengan rincian 37 orang didemosi dan 6 orang lainnya dipecat. Ironisnya, tidak ada satupun yang dikenakan tindak pidana pemerasan.

Penghentian penanganan perkara pada sanksi etik menunjukkan absennya akuntabilitas pidana. Selain itu, hal ini menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang terduga pelakunya berasal dari institusi penegak hukum.

Secara yuridis, perbuatan pemerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menegaskan bahwa penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu atau melakukan pembayaran merupakan kejahatan korupsi. Dengan demikian, tidak terdapat dasar hukum apa pun untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku hanya pada ranah etik internal institusi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya bertindak aktif untuk mengusut Aparat Penegak Hukum (APH) yang melakukan Tipikor. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1)  huruf a Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, secara tegas memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Oleh karena itu, pembiaran terhadap perkara pemerasan oleh anggota kepolisian merupakan bentuk pengingkaran mandat hukum yang secara langsung melekat pada KPK.

Hingga saat ini, meskipun perbuatan korupsi tersebut telah terbukti secara hukum melalui mekanisme etik, KPK belum menunjukkan political will untuk menindaklanjuti perkara-perkara tersebut ke ranah pidana. Sikap pasif ini memperkuat impunitas struktural dan menegaskan adanya perlakuan pilih kasih dalam penegakan hukum, di mana aparat kepolisian seolah berada dalam posisi kebal hukum dibandingkan warga sipil yang dengan mudah diproses dan dipidana atas perbuatan serupa.

Kondisi tersebut semakin problematis ketika aparat kepolisian yang terbukti melakukan pemerasan tidak hanya luput dari jerat pidana, tetapi justru memperoleh perlindungan institusional, bahkan promosi jabatan. Salah satu contohnya adalah RI, yang setelah terlibat dalam perkara pemerasan, justru mendapat promosi. Praktik ini menunjukkan bahwa sanksi etik tidak hanya gagal memberikan efek jera, tetapi juga berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi di tubuh aparat penegak hukum.

ICW menegaskan bahwa mengadili aparat kepolisian yang terlibat korupsi bukanlah bentuk konflik antar institusi melainkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK dalam melaksanakan mandat undang-undang. KPK tidak memiliki alasan hukum maupun moral untuk menghindari penindakan terhadap aparat penegak hukum yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Dengan demikian, kegagalan KPK menindaklanjuti perkara pemerasan oleh aparat kepolisian bukan hanya persoalan teknis, melainkan bentuk pengabaian mandat hukum.

Oleh karena itu, ICW dan KontraS menuntut KPK untuk:

  1. Segera membuka penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh aparat kepolisian yang telah dinyatakan terbukti melakukan pemerasan melalui putusan KKEP;
  2. Menggunakan putusan etik sebagai bukti awal (initial evidence) untuk melakukan penyelidikan kasus pemerasan yang melibatkan aparat kepolisian
  3. Menghentikan praktik pembiaran dan standar ganda dalam penegakan hukum terhadap aparat penegak hukum; serta
  4. Menunjukkan keberanian untuk mengadili polisi yang korup sebagai bagian dari pemulihan kepercayaan publik dan penegakan supremasi hukum.

Jakarta, 23 Desember 2025
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 

Narahubung: 

Wana Alamsyah (Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW)
Dimas Bagus Arya (Koordinator KontraS)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan