Menyoal Hasil Seleksi Calon Komisioner KPK 2024-2029: Indikasi Pansel Gelar Karpet Merah untuk Aparat Penegak Hukum

Sumber foto: Grandyos Zafna
Sumber foto: Grandyos Zafna

Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja mengumumkan hasil tes tertulis kepada masyarakat. Dari 236 kandidat, Pansel diketahui memangkas lebih dari setengahnya dan hanya menyisakan 40 orang. Bila dilihat dari nama-namanya, ada setumpuk persoalan yang mesti diulas lebih lanjut, khususnya mengenai dominasi kandidat dengan latar belakang aparat penegak hukum. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, setidaknya 40 persen kandidat (16 orang) yang lolos berasal dari lembaga penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas. Ini tentu menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat tentang independensi Pansel dalam bekerja. Potensi keberpihakan yang berlebih pada aparat penegak hukum disinyalir sedang terjadi pada proses seleksi kali ini. Sederhananya, Pansel seperti meyakini sebuah “mitos” yang sebenarnya keliru terkait adanya keharusan aparat penegak hukum mengisi struktur Komisioner KPK. 

Ada beberapa poin penting berkenaan dengan hasil seleksi kali ini. Pertama, Pansel bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, yakni, Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,  jika indikasi memberikan karpet merah terbukti. Adapun peraturan perundang-undangan itu telah memandatkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Kedua, keberadaan aparat penegak hukum pada level Komisioner KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mengganggu independensi lembaga. Analoginya sebagai berikut, Pasal 11 UU KPK mengamanatkan bahwa lembaga antirasuah tersebut diminta untuk memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, bagaimana penegakan hukum KPK akan objektif jika komisionernya berasal dari lembaga penegak hukum? 

Sedangkan menyangkut independensi, baik kandidat yang berasal dari Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung, berpotensi memiliki loyalitas ganda. Sebab, saat kelak ia menjabat sebagai Komisioner KPK, secara administratif kedinasan, mereka masih berada di bawah kekuasaan lembaganya terdahulu yang dipimpin oleh Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung. Atas kondisi ini, masyarakat khawatir penanganan perkara di KPK tidak objektif. Lagipun, jika dipandang calon-calon dari kalangan penegak hukum memiliki kompetensi yang mumpuni, mengapa mereka tidak diberdayakan di lembaga asalnya? 

Pada situasi ini, ketegasan Pansel untuk menjawab keraguan masyarakat akan diuji. Apabila pada akhirnya Pansel tetap meloloskan sejumlah kandidat yang berasal dari kalangan penegak hukum, maka ICW mendorong agar Pansel mendesak mereka untuk tidak hanya menanggalkan jabatan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam UU KPK, akan tetapi juga meminta mundur dari institusi asalnya.  

Selain persoalan di atas, ICW juga turut menyoroti tentang tes lanjutan yang akan digelar akhir Agustus mendatang. Sebab, ada beberapa nama yang penting ditelusuri secara mendalam rekam jejaknya. Oleh sebab itu, kami berharap Pansel tidak hanya berdiam diri menunggu informasi yang masuk, akan tetapi bertindak aktif mencari dan menelusuri rekam jejak kandidat. Misalnya, jika calon berasal dari internal KPK, maka Pansel harus segera berkoordinasi dengan Dewan Pengawas guna menanyakan catatan etik dari proses persidangan yang pernah berlangsung.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan