Mendudukkan Kembali Implementasi Prinsip Business Judgement Rule dalam Perkara Korupsi

Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi Hotasi Nababan dan Karen Agustiawan
Ilustrasi: Babul Royani
Ilustrasi: Babul Royani

Dalam sebuah perusahaan, Direksi merupakan salah satu unsur yang penting dalam pengambilan keputusan bisnis. Demi melaksanakan kegiatan usahanya, Direksi dituntut untuk dapat mengambil langkah-langkah yang menghasilkan keuntungan bagi Perusahaan dan kelangsungan bisnisnya. Akan tetapi tak jarang kelalaian dalam pengambilan keputusan justru merugikan perusahaan atau bahkan dalam konteks Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat merugikan keuangan negara.

Perusahaan sebagai badan hukum tentu tidak memiliki kehendak dan melakukan keinginannya sendiri, sehingga Direksi dituntut untuk mampu mengambil keputusan secara cepat dalam rangka merespon perubahan dunia bisnis yang sangat dinamis. Dalam pengambilan keputusan bisnis, pada batasan-batasan tertentu, Direksi diberikan keleluasaan dan mendapat perlindungan hukum sehingga keputusannya tidak dapat diganggu gugat, sekalipun hal tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara. Prinsip yang melindungi kewenangan direksi dalam pengambilan keputusan ini disebut sebagai prinsip Business Judgement Rule (BJR).

Implementasi dari prinisp BJR ini sendiri dimaksudkan untuk melindungi Direksi dari setiap keputusan bisnis yang diambil, namun dengan catatan keputusan tersebut diambil dengan mengedepankan asas-asas tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) antara lain Transparansi, Akuntabilitas, Responsibiltas, Kejujuran, dan dimaksudkan semata-semata untuk kepentingan perusahaan, serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Direksi dianggap telah melakukan tugasnya dengan baik meskipun risiko bisnis tidak dapat dihindarkan. Direksi yang tidak dapat menjalankan perusahaan dengan itikad baik, maka apabila dikemudian hari terjadi kerugian yang timbul akibat keputusannya, maka Direksi tersebut harus melakukan pertanggungjawab secara pribadi.

Namun dalam praktiknya, tak jarang terjadi penyimpangan antara penerapan prinsip BJR dengan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi Perusahaan. Sebagai contoh, kasus yang melibatkan mantan Direktur Utama PT. Pertamina (Persero), Karen Agustiawan pada tahun 2009 yang berniat untuk mengakuisisi blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia, namun justru keputusan yang diambilnya diduga prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 568 miliar. Walaupun di tingkat pertama, Karen diputus bersalah dan dijatuhi vonis selama 8 tahun penjara, akan tetapi di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan lepas. MA menyatakan bahwa perbuatan Karen bukan merupaka tindak pidana dan yang dilakukannya adalah penerapan prinsip BJR.

Adanya perbedaan pandangan pada putusan di tingkat pertamaa dan banding dengan putusan kasasi tentu menunjukkan bahwa terdapat ketidakseragaman dalam memandang prinsip BJR dalam proses pengambilan keputusan perusahaan yang mengakibatkan kerugian. Maka dari itu, untuk mengurai permasalahan tersebut, ICW bermaksud membuat sebuah kajian untuk mendudukkan kembali implementasi prinsip BJR dalam perkara korupsi. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan