MA harus Batalkan Surat Edaran Menkumham yang Istimewakan Koruptor!

noimage

Pernyataan Pers

MAHKAMAH AGUNG HARUS BATALKAN SURAT EDARAN MENTERI HUKUM DAN HAM YANG ISTIMEWAKAN KORUPTOR!

 

Salah satu cara meng-ekstrak hukuman untuk koruptor adalah melalui pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat. Setidaknya dengan dua cara tersebut maka koruptor tidak perlu menjalani seluruh hukuman penjara sesuai dengan perintah hakim. Jika Remisi dan Pembebasan Bersyarat diperoleh maka koruptor cukup menjalani setengah atau dua pertiga dari hukuman yang seharusnya.

Sesunguhnya remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak bagi narapidana. Namun demikian pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tetap harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Khusus untuk remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor, saat ini setidaknya ada 2 (dua) regulasi yang mengaturnya yaitu:

1.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Wargabinaan Pemasyarakatan

2.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

(Cat. Perbedaan syarat dan prosedur remisi dan pembebasan bersyarat terlampir)

Mengapa ada dua? hal ini akibat adanya Surat Edaran Menkumham yang dikeluarkan pada 12 Juli 2013 (Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013) tentang Tata Cara Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakukan PP 99/2012. Dalam Surat Edaran yang ditandatangani oleh Amir Syamsuddin disebutkan, PP 99/ 2012 diberlakukan bagi terpidana korupsi, narkotika, kejahatan transnasional, terorisme, dan kejahatan HAM yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal pengesahan PP 99/ 2012, yaitu 12 November 2012. Sedangkan yang divonis sebelum 12 November 2012 maka yang berlaku adalah ketentuan dalam PP 28/2006.

Konsekuensinya, pemberlakuan PP ini justru bersifat diskriminatif karena hanya menjerat “koruptor baru”, sedangkan “koruptor lama” tetap bisa menerima remisi dengan syarat-syarat yang lebih longgar. Terpidana korupsi seperti Darius Lungguk Sitorus, Anggodo Widjojo, dan Haposan Hutagalung, tidak perlu memenuhi syarat-syarat pengetatan yang dimaktubkan dalam PP 99/ 2012 untuk menerima remisi.

Implikasi lain yang lebih krusial dari kebetradaan SE ini adalah, hingga akhir Pemerintahan SBY yaitu Oktober 2014, Pemerintah telah memberikan dua kali remisi kepada narapidana korupsi, yaitu remisi hari raya Idul Fitri, dan hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2014. Jika remisi terus menerus diberikan dengan persyaratan yang longgar, maka potensial besar para narapidana korupsi dapat menghirup udara bebas dalam waktu jauh lebih singkat dari masa pidananya.

Pada era Jokowi dalam hal ini Menkumham Yasonna Laoly akhirnya tak luput dari penerapan regulasi yang tumpang tindih, ketika memberikan remisi kepada narapidana korupsi di Hari Natal 2014. Paling tidak ada 4 (empat) orang narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin yang menerima Remisi Natal 2014 yaitu, Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Haposan Hutagalung, dan Samadi Singarimbun.

Narapidana korupsi tidak boleh dan tidak akan bisa disamakan dengan narapidana tindak pidana umum, sehingga pengistimewaan kepada mereka adalah wujud ketidakberpihakan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat yang syaratnya tidak lebih sulit dibanding dengan narapidana tindak pidana umum, merupakan wujud ketidakadilan bagi masyarakat yang menjadi korban koruptor.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri menentang keberadaan SE Menkumham ini karena hal ini jelas kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Pada 12 Januari 2014 ICW sudah mengajukan peringatan atau somasi kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mencabut Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tentang Tata Cara Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakukan PP 99/2012; dan Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari, Menteri Hukum dan HAM tidak mencabut Surat Edaran Menkumham di atas, akan ada upaya hukum untuk membatalkannya melalui Judicial Review ke Mahkamah Agung.

Namun karena Menteri Hukum dan HAM juga tidak merespon Somasi tersebut maka ICW dan ICJR pada hari Kamis 5 Februari 2015 secara resmi mengajukan Judicial Review terhadap Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 ke Mahkamah Agung.

Pengajuan ini diajukan oleh ICW dengan kuasa hukum yang terdiri dariSupriyadi Widodo Eddyono, S.H., Emerson Yuntho, SH., Anggara, SH., Wahyudi Djafar, S.H., Erasmus A. T. Napitupulu S.H., Robert Sidauruk S.H., Rully Novian, S.H., Adi Condro Bawono, S.H., Tama S. Langkun, S.H., Lalola Easter, S.H., Aradila Caesar Fahmi, S.H. Masing-masing adalah Advokat, Pengacara Publik dan Asisten Pengacara Publik, yang yang memilih domisili hukum di kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Pemohon atau ICW dalam permohonannya menyatakan bahwa Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tentang Tata Cara Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakukan PP 99/2012bertentangan dengan: (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 99 tentang tentang Perubahan kedua atas Peraturan; (3) Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013

ICW meminta Mahkamah Agung antara lain menyatakan Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tidak sah dan tidak berlaku secara umum dan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk membatalkan dan mencabut Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013.

 

Jakarta, 6 Februari 2015

Indonesia Corruption Watch- Institute for Criminal Justice Reform

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan