Kilas Balik Masalah Pendidikan, Meneropong Tantangan Pemerintahan Baru
Selasa 22 Oktober 2024 bertempat di Resonansi, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Masalah Pendidikan: Tantangan Bagi Pemerintah Baru”. Bersama dengan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Indonesia Budget Center (IBC), ICW menyoal sejumlah persoalan pendidikan yang seharusnya menjadi fokus pemerintahan baru.
Pelayanan pendidikan selama sepuluh tahun era pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa pendidikan masih diwarnai banyak masalah. Diantaranya yaitu kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban konstitusional wajib belajar tanpa pungut biaya, suburnya korupsi pendidikan, komersialisasi pendidikan di tengah tingginya alokasi anggaran untuk fungsi pendidikan, tata kelola dan kesejahteraan guru, hingga kekerasan di dunia pendidikan. Selain untuk merefleksikan buah pelayanan pendidikan pemerintahan Jokowi diskusi publik ini juga dimaksudkan untuk memberi masukan kepada pemerintah baru.
Salah satu catatan kritis yang dibahas dalam diskusi publik ini yaitu pemenuhan wajib belajar yang ke depan ditargetkan pemerintah menjadi 13 tahun. Wajib belajar bebas biaya merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Selain itu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan dasar dijamin oleh pemerintah dan pemerintah wajib membiayainya atau bebas biaya. Meskipun pemerintah telah menjamin wajib belajar bebas biaya, persoalan angka anak putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah masih sangat tinggi, menunjukkan masih adanya kekurangan dalam penerapan kebijakan tersebut.
Program wajib belajar dinilai ICW tidak sejalan dengan kebijakan alokasi anggaran pendidikan yang terus meninggi. Pada tahun 2024 anggaran pendidikan mencapai Rp 665 Triliun dan Rp 722 Triliun pada tahun 2025 mendatang. Namun dengan anggaran tersebut, pelaksanaan pendidikan dasar masih jauh dari kata bebas biaya. Temuan ICW menyebutkan bahwa tidak terlaksananya pendidikan bebas biaya dikarenakan dua persoalan utama, yaitu korupsi dan perencanaan anggaran yang tidak diprioritaskan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi. Meskipun pemerintah memenuhi mandat konstitusi terkait alokasi minimal 20% APBN untuk pendidikan, akses dan kualitas pendidikan belum merata.
Hambatan utama dalam pelaksanaan wajib belajar adalah jumlah kursi di sekolah negeri yang terbatas. Tanpa jaminan sekolah swasta bebas biaya, hal ini menyebabkan banyak anak tidak dapat mengakses pendidikan. Hal ini diperkuat oleh Ubaid Matraji dari JPPI yang menegaskan bahwa telah terjadi diskriminasi terhadap peserta didik di sekolah negeri sekolah swasta. Dengan pengelolaan anggaran yang tepat, wajib belajar bebas biaya dapat diwujudkan sehingga tidak ada lagi anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah akibat biaya pendidikan.
Dalam upaya meningkatkan kualitas mutu pendidikan, wajib belajar bebas biaya tidak dapat mengorbankan aspek tata kelola, kualitas dan kesejahteraan guru. Ubaid menyoroti kondisi saat ini yang menunjukkan adanya diskriminasi terhadap guru. Dimana dengan tugas dan beban kerja yang sama, guru ASN pusat, ASN daerah, dan honorer mendapat take home pay berbeda-beda.
Direktur IBC Elizabeth Kusrini pada diskusi ini juga mempertanyakan alasan dibalik pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dalam Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran ke tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dan Kementerian Kebudayaan. Ia menyebut bahwa pemecahan kementerian tersebut tanpa disertai informasi mengenai hasil evaluasi dan peta jalan penyelenggaraan pendidikan ke depan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran penggemukan birokrasi tidak efektif menjawab persoalan ke depan, terlebih akan menimbulkan konsekuensi di berbagai aspek, seperti anggaran dan struktur birokrasi.
Dari diskusi ini, JPPI, IBC, dan ICW menyimpulkan bahwa pemerintah ke depan mempunyai warisan masalah yang sangat kompleks sehingga memerlukan agenda pembenahan yang menyeluruh dan fokus pada pemenuhan akses serta kualitas pendidikan. Dalam diskusi ini juga disampaikan sejumlah rekomendasi pemerintahan baru untuk:
- Memprioritaskan pemenuhan kewajiban konstitusional atas akses pendidikan dasar bebas biaya agar tidak terus berdampak pada pendidikan yang diskriminatif dan bahkan melahirkan PPDB yang koruptif.
- Membenahi perencanaan anggaran pendidikan dengan memprioritaskan belanja untuk pelayanan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
- Membentuk koordinasi terpusat dan terintegrasi dalam perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan evaluasi penggunaan anggaran pendidikan.
- Menguatkan agenda pemberantasan korupsi, mengingat korupsi merupakan persoalan yang semakin memperburuk efektivitas dan efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan.
- Mengedepankan pengelolaan anggaran pendidikan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel dalam sektor pendidikan.
(Kevin/Almas)