Kesahan Publik Itu Valid, Ditunggangi Beban Hidup yang Pelik

Akhir-akhir ini saya sering berkunjung ke rumah sakit untuk mengantar Bapak berobat. Di ruang tunggu rumah sakit, saya kerap mendengar keluhan para pasien lain: ada yang mengaku BPJS bantuan iuran pemerintahnya tiba-tiba tidak aktif, ada pula yang khawatir jika iuran BPJS akan segera naik. Beberapa waktu sebelumnya, saya juga mendapat kabar bahwa beasiswa yang selama ini ditunggu suami untuk melanjutkan pendidikan ternyata ditiadakan. Rangkaian kabar buruk ini datang silih berganti, jaraknya pun tidak terlalu jauh satu sama lain. Entah ini dampak dari kebijakan efisiensi pemerintahan Prabowo–Gibran atau ada faktor lain, yang jelas semua ini semakin terasa berat bagi masyarakat kecil.

Di ruang publik yang lain pun keluhan serupa terdengar. Ibu-ibu mengeluh mahalnya harga kebutuhan pokok, menyesuaikan belanja sehari-hari agar uang belanja cukup hingga akhir bulan. Suasana di ruang tunggu rumah sakit dan di ruang-ruang publik yang lain terasa sama: ada kecemasan, ada kelelahan, dan ada ketidakpastian yang mengendap. Maka, ketika aksi demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai kota bulan ini, saya tidak terkejut. Aksi-aksi itu seperti cermin dari keresahan yang saya dengar sehari-hari. Jika pemerintah mengatakan demonstrasi “ditunggangi”, maka memang benar: demonstrasi ini ditunggangi oleh kepelikan hidup rakyat, oleh beban ekonomi dan rasa kecewa yang tak kunjung mendapat jawaban.

Publik sebenarnya tak diam, sudah lama melontarkan kritik terhadap pemerintah. Media sosial, misalnya, sempat diramaikan oleh slogan seperti “kabur aja dulu” dan “Indonesia gelap”. Ungkapan itu bukan sekadar luapan emosi, melainkan alarm keras bagi pemerintah untuk segera berbenah diri. Namun, kritik publik tak direspons dengan bijak. Seruan “bubarkan DPR” mendapat respons dengan nada merendahkan dari Ahmad Sahroni, yang menyebut kritik itu sebagai pernyataan orang “tolol”. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa sebagian wakil rakyat enggan menerima kritik dan hanya mempertebal jarak antara mereka dan masyarakat.

Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan adalah salah satu dari sekian banyak potret yang memperlihatkan krisis keterwakilan rakyat di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga yang seharusnya menjadi wakil suara kepentingan rakyat kini justru kehilangan jati dirinya, lebih sibuk mengamankan kepentingan penguasa daripada memperjuangkan suara rakyat. Demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR adalah bukti nyata akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan negara yang dinilai tidak lagi berlandaskan kepentingan umum. Namun, alih-alih mendengarkan aspirasi, negara justru merespons dengan cara yang represif. Aparat dikerahkan dengan jumlah besar untuk mengamankan situasi, tetapi tindakan mereka justru mencederai hak-hak warga negara. Tragedi aparat yang melindas warga, pembubaran paksa massa aksi, hingga pejabat publik yang kabur dan enggan menemui demonstran, memperlihatkan betapa negara gagal melaksanakan kewajibannya.

Lebih memprihatinkan lagi, tindakan pembungkaman terhadap media menunjukkan strategi sistematis untuk menghapus jejak kekerasan negara di ruang publik. Media yang seharusnya menjadi corong suara rakyat kini ditekan untuk menyajikan narasi tunggal yang menguntungkan pemerintah. Kebebasan pers, salah satu pilar utama demokrasi, dilumpuhkan secara perlahan. Upaya kontrol informasi tidak berhenti di situ. Larangan bagi masyarakat untuk menyalakan fitur live di media sosial menunjukkan betapa negara ketakutan terhadap transparansi. Semua ini menjadi bukti matinya demokrasi di negeri ini.

Demokrasi sejatinya bukan sekadar pemilu lima tahunan. Demokrasi menuntut kebebasan berbicara, partisipasi publik, dan aspirasi rakyat yang didengar. Demonstrasi yang seharusnya menjadi hak konstitusional malah diperlakukan sebagai ancaman. Aparat yang seharusnya melindungi masyarakat berubah menjadi simbol kekerasan. Situasi ini harus menjadi refleksi bersama. Demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya dengan jargon atau pencitraan politik. Tanpa keterbukaan, tanpa keberanian untuk menerima kritik, negara hanya akan menggunakan demokrasi sebagai topeng untuk menutupi wajah otoriternya. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, rakyat akan kehilangan harapan, dan jarak antara penguasa dan masyarakat akan semakin tebal.

 

Penulis,

Nurul Qolbi Kurniawati 

Magister Studi Agama Resolusi Konflik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sedang belajar isu Gender dan Perempuan di Feministic.id

 

 *Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan