Kasak-Kusuk Busuk Retret Kepala Daerah: Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Laporkan Dugaan Korupsi ke KPK

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Themis Indonesia, PBHI, Kontras, ICW melaporkan adanya dugaan tindak korupsi oleh PA/Mendagri, politisi, juga direksi serta komisaris PT Lembah Tidar Indonesia (PT LTI), dan PT Jababeka ke KPK, pada Jumat 28 Februari 2025 kemarin. Koalisi menilai penyelenggaraan kegiatan ini patut diduga melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kecurigaan bermula dari disebarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 200.5/628/SJ tentang Orientasi Kepemimpinan Bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2025 yang menyatakan bahwa akan diselenggarakan orientasi kepemimpinan pada 21 hingga 28 Februari 2025 dan menyebutkan bahwa pembiayaan ditransfer melalui PT LTI. Kemudian disusul Surat Edaran Nomor 200.5/692/SJ perihal Pembiayaan Kegiatan Orientasi Kepemimpinan Bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2025 yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan dibebankan pada APBN berdasarkan DIPA Kemendagri.
Di tengah kebijakan pemangkasan anggaran, pemerintah justru tetap melaksanakan kegiatan orientasi untuk seluruh kepala daerah terpilih. Pelaksanaan agenda tersebut sangat kontroversial. Selain menunjukkan inkonsistensi pemerintah soal efisiensi, konsep yang digunakan seolah sedang berupaya membawa pemerintah daerah ke arah sentralisasi dan bernuansa militeristik. Hal ini menimbulkan polemik di masyarakat tentang apa sebenarnya tujuan utama penyelenggaraan retret Pemerintahan Prabowo-Gibran. Koalisi masyarakat sipil antikorupsi menilai bahwa agenda retret melenceng dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Desain orientasi ini juga tidak sesuai dengan skema pendidikan dan pembinaan kepala daerah yang diatur dalam UU Pemerintah Daerah.
Pasal 373 UU No. 23/2014 menyebut, gubernur diberikan kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sehingga jika berdalih ini adalah pembinaan, maka yang berwenang adalah gubernur, bukan pemerintah pusat. Selain itu, agenda retret kepala/wakil kepala daerah diduga kuat melanggar ketentuan Perpres pengadaan barang/jasa (PBJ) dan terdapat praktik penyalahgunaan wewenang. Sebab dalam Pasal 1 angka 1 Perpres 16/2018 menyatakan bahwa kegiatan K/L/Perangkat Daerah yang dibiayai APBN/APBD dan prosesnya sejak perencanaan hingga serah terima merupakan aktivitas pengadaan barang/jasa.
Agenda orientasi kepemimpinan atau disebut retret kepala daerah yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri ditengarai bermasalah. Mulai dari kerangka konsep perencanaan hingga pelaksanaan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan. Anggaran dalam DIPA untuk melaksanakan kegiatan ini berjumlah Rp10.350.000.000 yang diperuntukan untuk 1.092 orang. Namun, Koalisi menemukan terdapat sejumlah pelanggaran yang setidaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 28 Tahun 1999, UU No. 5 Tahun 1999, dan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018.
Kegiatan orientasi atau retret merupakan aktivitas pengadaan barang/jasa yang sudah ditetapkan perencanaan pengadaannya oleh Pengguna Anggaran dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Alih-alih tertuang dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Kemendagri, koalisi tidak menemukan informasi pengadaan terkait agenda orientasi kepala/wakil kepala daerah. Namun di lapangan, diketahui sudah ada pihak swasta yang jadi penyedia pembantu pelaksana kegiatan tersebut yakni, PT Lembah Tidar Indonesia (PT LTI) dan PT Jababeka.
Berdasarkan uraian di atas. Koalisi menilai ada empat catatan masalah yang menjadi indikator terjadinya dugaan tindak pidana korupsi:
Pertama, penyelenggaraan kegiatan retret diduga melanggar hukum terkait proses pengadaan barang/jasa. Seharusnya, jika berkaca pada data DIPA dan merujuk ketentuan Perpres PBJ, kegiatan ini wajib melalui proses tender. Metode yang sesuai dalam Perpres PBJ antara lain, e-purchasing, pengadaan langsung, penunjukan langsung, tender cepat, dan tender. Sejumlah metodenya tersebut tentu berbeda-beda, tapi dengan nilai sesuai DIPA di atas Rp10 miliar, maka seharusnya menggunakan tender di mana tahapannya diatur dalam Pasal 50 Perpres. Mendagri selaku PA diduga tidak menjalankan ketentuan pengadaan seperti yang diatur dalam Perpres PBJ. Alhasil, program ini tidak transparan dan akuntabel.
Kedua, kegiatan ini sarat dengan benturan kepentingan antara partai penguasa dengan elit Partai Gerindra. Potensi konflik kepentingan berupa persekongkolan ini terjadi antara Kemendagri dan PT LTI yang juga dimiliki oleh kader Partai Gerindra, sebagai direktur, komisaris, dan pemegang saham. Kedua orang kader Gerindra yang dimaksud tercatat sebagai calon anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, dan juga ada yang saat ini menjabat wakil ketua DPRD Brebes.
Sebelumnya juga yang sempat menjadi penerima pembayaran biaya dari para kepala/wakil kepala daerah. Meskipun kemudian diterbitkan revisi surat edaran yang menyatakan bahwa seluruh pembiayaan berasal dari APBN, kami tetap menduga terdapat pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan orientasi tersebut.
Ketiga, pelaksanaan kegiatan orientasi atau retret ini tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 23/2014 sebagaimana diuraikan pada penjelasan di atas, dan seolah ada upaya sentralisasi serta bernuansa militerisme. Agenda ini sejatinya ditujukan untuk memastikan seluruh kepala daerah menjalankan pemerintahan daerah dengan memenuhi standar tata kelola berbasis asas-asas umum pemerintahan yang baik (Good Governance dan AUPB), akan tetapi, adanya pendekatan militerisme yang digunakan untuk kegiatan instansi dan pejabat sipil; metode komando militerisme yang diterapkan, serta materi yang bersifat linear satu arah pusat ke daerah, justru menggambarkan kembalinya rezim otoritarian seperti orde baru. Pemerintah Daerah hanya dijadikan sebagai pelaksana komando Pusat. Ini jelas merusak sistem ketatanegaraan dan demokrasi yang dimandatkan konstitusi.
Keempat, terdapat dugaan kolusi yang dilakukan antara Mendagri dengan orang-orang yang ada di dalam Partai Gerindra. Sebab, dengan diterobosnya aturan pengadaan barang/jasa dalam Perpres PBJ mengindikasikan adanya perbuatan kolusi yang dilarang dalam UU No. 28 Tahun 1999. Permufakatan atau kerja sama ini tidak dilakukan dengan tunduk pada aturan yang berlaku, baik secara substansi (dalam UU Pemda) maupun prosedur (Perpres PBJ).
Oleh karena itu, kami mendesak agar KPK segera menindaklanjuti laporan ini dengan melakukan serangkaian upaya penyelidikan. Terlebih, koalisi menilai tidak menutup kemungkinan ada pelanggaran hukum lain dan kerugian yang lebih besar akibat dari penyelenggaraan retret yang tidak transparan serta berubah-ubah informasinya.
Jakarta, 01 Maret 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi
(Themis Indonesia, PBHI, KontraS, ICW,)