Kabinet Prabowo-Gibran Tak Cerminkan Keberpihakan Pemberantasan Korupsi
Pidato Prabowo Subianto pada pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 20 Oktober 2024 lalu menekankan komitmen pembangunan sistem antikorupsi dan pemberantasan korupsi. Namun, pidato berapi-api tersebut terkesan sebatas jargon yang bertolak belakang dengan formasi Kabinet Merah Putih yang dibentuknya. Indonesia Corruption Watch (ICW) meragukan komitmen antikorupsi tersebut, terlebih penunjukan menteri dan wakil menteri terlihat lebih mengedepankan aspek politik akomodatif, tanpa mempertimbangkan rekam jejak, integritas, dan kompetensi.
Presiden Prabowo telah mengumumkan susunan “Kabinet Merah Putih” periode 2024-2029. Total ada 109 orang yang telah dilantik, terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala lembaga non kementerian. Jumlah ini terbilang sangat besar dan menjadi ‘kabinet tergemuk’ sejak pemerintahan era reformasi. Tak hanya itu, Prabowo juga melantik 6 penasehat khusus dan 7 utusan khusus presiden. Pembentukan kabinet gemuk ini terkesan sekadar merupakan wujud politik bagi-bagi kue, khususnya untuk individu dan partai politik pendukung Prabowo-Gibran. Sekalipun penentuan pejabat pengisi kabinet pemerintahan merupakan hak prerogatif Presiden, pemilihan jajaran pimpinan kabinet yang berpijak pada integritas dan kapabilitas penting untuk meminimalisir risiko dan mengejawantahkan komitmen antikorupsi. Terlebih, Prabowo meyakini bahwa “ikan busuk mulai dari kepala.”
Setidaknya ada enam catatan awal ICW terkait “Kabinet Merah Putih” Prabowo-Gibran. Pertama, pembengkakan kabinet gemuk Prabowo Subianto tak diawali dengan penjelasan berbasis data atau analisis kebutuhan untuk mencapai tantangan pemerintahan mendatang. Melebarnya jumlah kementerian/ lembaga pasti akan membawa konsekuensi birokrasi dan anggaran. Padahal, untuk mencapai cita-cita swasembada pangan, swasembada energi, pengentasan kemiskinan, hingga perbaikan gizi dengan target tuntas pada 5 tahun mendatang sebagaimana disampaikan pada pidato Prabowo, pemerintah perlu mengelola anggaran negara dengan lebih efektif dan efisien serta minim ongkos birokrasi.
Kedua, pemilihan menteri dan wakil menteri mengabaikan integritas dan catatan hukum, terutama terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi. Berdasarkan penelusuran ICW, terdapat sejumlah anggota kabinet dengan rekam jejak pernah diperiksa, bahkan disebut-sebut menerima uang korupsi dalam fakta persidangan. Tidak hanya itu, terdapat nama anggota kabinet dengan catatan rekam jejak pernah disangkakan melakukan dugaan korupsi. Sehingga, publik layak meragukan komitmen pemberantasan korupsi Prabowo.
Ketiga, Prabowo tidak memanfaatkan instrumen negara untuk melakukan pengecekan mendalam rekam jejak kandidat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang sangat penting diminta untuk memastikan bahwa daftar nama calon pengisi kabinet Prabowo setidaknya tidak pernah terlilit persoalan korupsi hingga pajak. Langkah ini seharusnya tidak dilewatkan apabila Prabowo serius bermaksud menjalankan komitmen antikorupsi dalam lima tahun mendatang. Jajaran pemerintahan yang korup atau tidak kompeten tentu akan berdampak pada pencapaian visi-misi pemerintah. Namun, sepertinya Presiden tidak melakukan hal ini dan kemungkinan akan berdampak fatal yakni, adanya figur bermasalah atau berpotensi tersandung hukum pada masa mendatang.
Keempat, pemilihan kabinet dominan politik transaksional ‘bagi-bagi kue’. Fenomena bagi-bagi jabatan menteri-wakil menteri kepada para pendukung merupakan hal yang lumrah terjadi. Ini sulit dihindari terlebih Prabowo-Gibran punya basis pendukung partai dan kelompok yang sangat besar. Tetapi, pemilihan menteri harus menimbang indikator atau prasyarat lain, yakni kapasitas, integritas, dan bebas dari kepentingan politik. Poin terakhir terdengar seperti angan-angan, namun jabatan strategis butuh keahlian dan netralitas. Seharusnya Presiden tidak menempatkan figur dari unsur maupun yang terafiliasi dengan partai politik terutama pada sektor hukum. Jika tidak, Presiden seharusnya meminta menteri dan wakil menterinya untuk undur diri dari posisi pimpinan di partai politik. Dengan dipilihnya sosok dari partai politik dalam penegakan hukum, tentu optimalisasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang imparsial sulit terjadi.
Kelima, sangat rentan tersandera kepentingan bisnis. Daftar menteri yang telah dilantik oleh Prabowo tidak sedikit yang berlatar belakang hingga terafiliasi dengan pebisnis. Bahkan, sedikitnya empat orang menteri kabinet Prabowo merupakan orang dekat atau terhubung dengan Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam). Perusahaan miliknya, Jhonlin Group, digaet oleh Menteri Pertahanan pada masa kepemimpinan Prabowo untuk membantu megaproyek food estate di Merauke yang problematik dan merusak hutan alam Papua. Hal ini tentu berpotensi kuat menimbulkan konflik kepentingan pada setiap pengambilan kebijakan. Sehingga, akan sangat sulit bagi publik untuk bisa meyakini bahwa komitmen antikorupsi Prabowo bukan sekedar dari pidato yang berapi-api. Selain itu juga patut diingat, bahwa ada larangan bagi menteri menjabat direksi atau komisaris perusahaan maupun pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/D sebagaimana tertuang dalam Pasal 23 UU No.38 tahun 2008 jo. UU 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara yang masih berlaku. Hal ini sepatutnya juga jadi perhatian Presiden untuk memastikan para pembantunya mentaati UU.
Keenam, tidak ada indikator penilaian jelas khususnya pada menteri di era Presiden Jokowi yang terpilih kembali. Setidaknya ada 18 orang menteri dan wakil menteri pada pemerintahan Jokowi yang jelas punya catatan buruk masalah ketika menjabat. Munculnya nama menteri tersebut dapat dilihat jadi dua hal, pertama ada indikasi titipan jabatan menteri pada pos-pos tertentu. Kedua, kinerja yang baik oleh menteri sebelumnya sehingga ia dipilih kembali. Dari kedua hal tersebut, rasanya sangat sedikit kemungkinan melihat poin kedua yakni, kinerja yang baik.
Berdasarkan enam poin di atas, ICW menilai bahwa Prabowo-Gibran mempunyai pekerjaan rumah yang sangat besar dalam hal mengefektifkan kerja kabinet dan pemberantasan korupsi. Prabowo-Gibran telah melewatkan langkah nyata komitmen antikorupsi yang dimulai sejak awal proses pemilihan kabinet ini. Padahal, kabinet tersebut adalah eksekutor yang akan menjalankan visi-misi Presiden, terutama dalam menghadirkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, ICW mendesak:
- Prabowo-Gibran dalam waktu 100 hari membuktikan komitmen antikorupsi melalui penjabaran visi-misi dan program yang akan dijalankan bersama para anggota kabinet. Tidak sekedar jargon, komitmen tersebut perlu diturunkan dalam bentuk agenda konkret, terutama dalam hal penguatan lembaga KPK yang melemah di era Jokowi hingga perangkat regulasi antikorupsi, seperti menargetkan pengesahan RUU Perampasan Aset, revisi UU Tindak Pidana Korupsi, dan mengembalikan independensi KPK melalui revisi UU KPK;
- Prabowo harus menerapkan mekanisme koordinasi yang efektif di tengah kabinet gemuknya, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang ketat bagi seluruh jajaran kabinetnya agar menjalankan tugas dan fungsi sesuai UU;
- Prabowo menginstruksikan menteri dan wakil menteri untuk mundur dari jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU Kementerian Negara;
- Menteri, wakil menteri, dan pimpinan lembaga dalam Kabinet Merah Putih harus segera melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) sesuai amanat UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih, sekaligus bentuk komitmen antikorupsi;
- Prabowo-Gibran dan segenap jajaran Kabinet Merah Putih mengimplementasikan pemerintahan yang demokratis, yaitu dengan membuka ruang partisipasi bermakna dalam penyusunan dan pengawasan kebijakan publik. Dalam hal ini, pemerintahan Prabowo-Gibran harus menjalankan jaminan perlindungan hukum bagi publik dalam mengekspresikan hak politiknya.
Indonesia Corruption Watch
24 Oktober 2024
Daftar sementara menteri dan wakil menteri dengan catatan masalah:
Nama |
Jabatan Menteri |
Kasus yang Menjerat |
Airlangga Hartarto |
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian |
Dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah |
Ario Bimo Nandito Ariotedjo |
Menteri Pemuda dan Olahraga |
Namanya disebut dalam kasus korupsi BTS |
Edward Omar Sharif Hiariej |
Wakil Menteri Hukum |
Dugaan penerimaan suap dan gratifikasi dalam proses konsultasi hukum dan pengesahan status badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM |
Budi Gunawan |
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan |
Dugaan rekening gendut Jenderal Polisi |
Yusril Ihza Mahendra |
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan |
Dugaan korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum |
Catatan: data ini dapat diperbarui oleh ICW