.Feast dan Hindia Suarakan Korupsi Iklim di Hai Festival Kupang, NTT

Foto: Hai Festival
Foto: Hai Festival

Jumat, 24 Oktober 2025, .Feast dan Hindia menjadikan panggung sebagai ruang untuk menyoroti isu korupsi iklim. Di hadapan lebih dari 14.000 penonton, .Feast dan Hindia menyampaikan pesan mengenai dampak korupsi iklim dan pentingnya perlindungan masyarakat adat.

Hai Festival Kupang merupakan festival musik terbesar di Kota Kupang yang digelar selama tiga hari, 22–25 Oktober 2025, dengan mengusung tema “Resepsi Patah Hati”. Tema ini tidak hanya merujuk pada patah hati karena putus cinta, tetapi juga patah hati yang muncul ketika ruang hidup masyarakat adat dirampas oleh korporasi atas nama transisi energi.

Salah satu momen paling emosional terjadi di Hai Festival ketika Hindia membawakan laguKita ke Sana, diiringi visual bertuliskan “Usut Tuntas Kematian Vian Ruma.” Rudolfus Oktavianus Ruma atau Vian Ruma adalah seorang aktivis lingkungan di Flores yang tegas menolak proyek geotermal. Ia ditemukan meninggal dalam kondisi penuh kejanggalan. Sebagai pembela lingkungan, Vian memperjuangkan hak hidup masyarakat adat yang terancam oleh proyek-proyek “transisi energi” yang tidak adil. Momen epic lainnya muncul saat .Feast menampilkan lagu “Tarian Penghancur Raya. Dalam lagu ini, mereka menghadirkan visual panggung yang menyoroti kerusakan akibat proyek geotermal. Suasananya semakin menguat ketika penonton mengangkat poster bertuliskan #TolakGeotermal, “Geotermal Rusak Ketong Pung Tanah”, dan “End Climate Corruption.”

Di titik inilah panggung musik berubah menjadi ruang perlawanan, ketika .Feast dan Hindia menyuarakan isu korupsi iklim. Korupsi iklim terjadi ketika proyek-proyek yang seharusnya dirancang untuk mengatasi krisis iklim justru dimanfaatkan untuk memperkaya elite politik atau korporasi. Pola ini terkait erat dengan state capture corruption, di mana kebijakan negara termasuk kebijakan iklim dikendalikan oleh kepentingan segelintir pihak, bukan kepentingan publik. Akibatnya, transisi energi yang tampak “hijau” di permukaan sering kali menjadi kedok untuk merampas ruang hidup masyarakat dan merusak lingkungan seperti yang kini terlihat pada proyek geotermal yang menggerogoti Pulau Flores.

Melalui penampilan mereka, Feast. dan Hindia menegaskan pentingnya mengangkat kembali suara-suara yang selama ini disisihkan. “Setelah kami dihubungi Indonesia Corruption Watch (ICW), kami riset lebih jauh soal korupsi iklim. Ternyata kerusakan lingkungan akibat praktik ini jauh lebih parah daripada apa yang terlihat di media,” ujar Hindia.

Hindia juga menambahkan kedekatan personalnya dengan wilayah NTT. “Saya punya ikatan kuat dengan NTT karena itu kampung ibu saya. Tidak ada orang yang ingin tanah leluhurnya rusak atau hak kemanusiaannya dirampas,” tegasnya.

Ini menjadi bukti bahwa festival musik dapat menjadi ruang advokasi yang kuat untuk menyuarakan isu korupsi iklim, ketika Hindia dan .Feast bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) turut menyuarakan keadilan iklim dan menyoroti praktik korupsi iklim yang memperparah kerusakan lingkungan. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan