Demokrasi Absolut Modern: Wajah Baru Otoritarianisme Berkedok Trias Politica
Demokrasi hari ini kerap dipuja sebagai puncak peradaban politik. Namun, di balik jargon “kedaulatan rakyat” dan pemisahan kekuasaan ala trias politica, yang tampak justru wajah absolutisme modern. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seharusnya saling mengontrol justru menjelma menjadi kartel kekuasaan yang saling melindungi. Demokrasi dipertontonkan sebatas ritual lima tahunan: kotak suara, bendera partai, dan slogan murahan. Sementara esensinya,yakni ruang rakyat untuk mengendalikan arah negara,dirampas oleh elit yang berkolusi.
Isu korupsi menjadi wajah telanjang dari krisis ini. Bagaimana mungkin negeri yang gembar-gembor anti-korupsi justru melahirkan produk politik yang penuh kompromi dengan koruptor? Lembaga antikorupsi dilemahkan, undang-undang dipelintir, bahkan narasi “restorasi hukum” dijadikan topeng untuk mengamankan oligarki. Korupsi bukan lagi soal individu rakus, tetapi sistemik: jaringan elit politik, birokrat, dan pengusaha yang bersekutu menghisap sumber daya negara.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa inilah tanda-tanda demokrasi yang membusuk dari dalam. Lihatlah Republik Weimar di Jerman (1919–1933): konstitusi liberal dan parlemen yang gemerlap gagal menahan oligarki ekonomi dan politik, sehingga menjadi pintu masuk Hitler dan fasisme. Atau perbandingan dengan Italia era pasca-Perang Dunia II: demokrasi parlementer mereka sempat terjebak dalam partitocrazia, kekuasaan mutlak partai,yang mengubah parlemen menjadi sarang transaksi politik, hingga melahirkan krisis kepercayaan besar pada 1990-an.
Hari ini, Indonesia menghadapi gejala serupa. Partai politik lebih sibuk mengatur kursi kabinet, proyek infrastruktur, atau tambang nikel, ketimbang merumuskan visi kebangsaan. Presiden dan DPR yang seharusnya berseberangan dalam fungsi kontrol malah membentuk aliansi permanen. Sementara yudikatif, yang digadang-gadang sebagai benteng terakhir keadilan, terperangkap dalam arus politik balas jasa. Trias politica direduksi menjadi teater boneka: ada panggung, ada aktor, tapi naskahnya ditulis oleh oligarki.
Catatan terhadap pemerintah dan elit politik hari ini jelas: mereka gagal menjaga marwah demokrasi. Pemerintah lebih sering tampil sebagai manajer krisis yang sibuk meredam gejolak rakyat dengan narasi pembangunan, sementara elit politik memperlakukan negara sebagai mesin rente. Rakyat dibiarkan menonton dari pinggir jalan, sesekali diajak masuk ke arena hanya saat pemilu, lalu ditinggalkan begitu pesta usai.
Isu-isu relevan lain yang menyatu dengan gerakan antikorupsi adalah pelemahan masyarakat sipil. Demonstrasi, kritik mahasiswa, hingga suara media independen, kerap dipatahkan dengan kriminalisasi, buzzer, atau pembatasan akses informasi. Situasi ini mengingatkan kita pada masa Amerika Latin 1970–1980-an, di mana rezim-rezim otoriter seperti di Chili (Pinochet) dan Argentina menggunakan jargon stabilitas ekonomi untuk menjustifikasi represi. Bedanya, jika dulu represi tampil kasar dengan militer di jalanan, hari ini ia hadir halus melalui undang-undang, aparat hukum, dan perang informasi digital.
Apakah demokrasi mati? Tidak selalu. Justru dari krisis inilah muncul momentum perlawanan. Di Korea Selatan, gerakan rakyat menumbangkan rezim otoriter Park Chung-hee dan melahirkan demokrasi baru pada 1987. Di Brasil, gerakan “Diretas Já” berhasil menekan rezim militer hingga membuka jalan bagi demokratisasi. Artinya, demokrasi tidak pernah hadiah dari penguasa, melainkan hasil tarikan rakyat yang menolak tunduk.
Bagi Indonesia, catatan sejarah ini relevan. Gerakan antikorupsi dan demokrasi harus bertolak dari kesadaran bahwa musuh utama bukan sekadar individu koruptor, melainkan sistem politik yang menormalisasi korupsi sebagai mekanisme berkuasa. Tanpa reformasi radikal,pemisahan tegas oligarki dari negara, penguatan masyarakat sipil, dan keberanian rakyat menuntut transparansi, demokrasi hanya akan jadi panggung sirkus.
Di ujungnya, demokrasi absolut modern bukanlah demokrasi. Ia hanyalah tirani baru dengan wajah berbeda: kekuasaan yang dibungkus prosedur, korupsi yang disamarkan legalitas, dan rakyat yang dibungkam lewat simbol partisipasi semu. Tugas kita adalah menyingkap kedok itu, sebelum sejarah berulang dan bangsa ini jatuh ke jurang otoritarianisme yang lebih dalam.
“There is no liberty if the power of judging be not separated from the legislative and executive.” – Montesquieu
Penulis,
Arief Abdulrachman
Seorang profesional di bidang komunikasi, pemasaran, dan desain dengan pengalaman dalam mengelola kampanye kreatif serta mengembangkan strategi komunikasi yang inovatif
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025