Dari ruang sidang ke ruang lobi: Hentikan Intervensi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, 26 November 2025 – Pemberian rehabilitasi bagi terdakwa korupsi PT ASDP oleh Presiden Prabowo merupakan bentuk intervensi politik dalam penegakan hukum. Intervensi ini berimplikasi pada lemahnya independensi penegak hukum dan meningkatkan risiko politisasi kasus korupsi lainnya.
Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan intervensi penegakan hukum terhadap kasus korupsi. Intervensi tersebut dilakukan terhadap Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiga orang tersebut adalah terdakwa dalam kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP yang pada 20 November 2025 lalu divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada pengadilan tingkat pertama. Intervensi yang dilakukan oleh Presiden Prabowo berupa pemberian rehabilitasi. Artinya, penjatuhan pidana terhadap ketiga terdakwa tersebut tidak lagi dapat dilakukan dan seluruh hak terdakwa dipulihkan. Pemberian ini adalah ketiga kalinya Presiden Prabowo melakukan intervensi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebelumnya, Presiden Prabowo memberikan abolisi terhadap Thomas Trikasih Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto, bahkan sebelum kasus keduanya dinyatakan inkracht.
Pemberian rehabilitasi merupakan hak prerogatif Presiden yang tertuang dalam UUD 1945. Pasal 14 ayat (1) menyebutkan: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sama seperti pemberian abolisi dan amnesti, hak ini tidak disertai ketentuan yang jelas terkait tata cara pemberian dan apa saja syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan rehabilitasi. Dengan kata lain, Presiden memiliki kewenangan yang sangat luas untuk menggunakan hak-hak tersebut tanpa ada garis batasan yang jelas.
Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan. Terlebih, kasus ini masih belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Sebab, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru membacakan putusan terhadap ketiga terdakwa tersebut pada 20 November 2025. Berdasarkan Pasal 234 ayat (1) KUHAP, putusan pengadilan negeri baru berkekuatan hukum tetap jika terdakwa maupun penuntut umum tidak mengajukan banding dalam waktu 7 hari setelah pembacaan putusan. Maka, hingga 27 November 2025 terdakwa maupun penuntut umum masih memiliki peluang untuk mengambil langkah upaya hukum berupa banding. Sedangkan, pemberian rehabilitasi diberikan pada 25 November 2025 atau 5 hari setelah putusan dibacakan. Intervensi ini jelas mengaburkan hak-hak tersebut dan mencederai prinsip independensi peradilan.
Badan peradilan dibangun sebagai lembaga yudikatif yang independen, transparan, dan bebas dari intervensi politik. Praktik pemberian grasi, amnesti, rehabilitasi, dan abolisi yang dilakukan tanpa standar transparansi dan akuntabilitas justru mengaburkan batas tersebut. Jika praktik ini dibiarkan berlanjut, relevansi institusi peradilan banding dan kasasi akan kian terkikis. Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya. Jika aktor-aktor yang berkepentingan lebih memilih menunggu “ampunan politik” daripada menempuh jalur hukum, fungsi korektif yudikatif akan menjadi tidak berarti. Bahkan, esensi dari pertimbangan “putusan lepas” yang menjadi bentuk pengujian perkara paling independen, bisa kehilangan bobotnya. Padahal, jalur hukum berupa banding hingga peninjauan kembali jelas akan lebih transparan dan akuntabel dibanding penggunaan hak prerogatif presiden yang tak jelas standarnya.
Pola yang berkembang saat ini dapat memantik pergeseran arena pembelaan hukum dari ruang sidang ke ruang lobi kekuasaan. Ke depannya, pihak terdakwa cukup membangun narasi belas kasih kepada Presiden, membingkai “peradilan” oleh media, dan memasarkan kisah sedih setiap kali putusan pengadilan tidak menguntungkan klien mereka. Publik akhirnya digiring untuk ikut menekan eksekutif, bukan untuk mengevaluasi argumentasi hukum dan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Hal inilah yang menjadikan pergeseran dari perang hukum menjadi perang narasi. Argumen, bukti, dan logika hukum seharusnya disampaikan di hadapan majelis hakim, sebab hal itu adalah konsekuensi dari negara hukum.
Pada 1 Agustus 2025 lalu, ICW telah memperingatkan bahwa penyelesaian suatu perkara dengan intervensi semacam ini tidak dapat dibenarkan. Jika aturan mengenai pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi ini tidak ada, maka ke depan intervensi penegakan hukum serupa akan semakin masif. Preseden ini juga berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana yang seharusnya mengedepankan objektivitas penanganan perkara. Apabila terdapat suatu kekeliruan penerapan hukum oleh aparat penegak hukum, dengan adanya intervensi ini maka upaya pembuktian kekeliruan dan perbaikan penegakan hukum akan semakin sulit. Sebab, perkara ini menjadi terhenti di tengah jalan dan upaya perbaikan akuntabilitas perkara tidak dapat direalisasikan dengan baik.
Atas dasar tersebut, ICW mengkritik keras intervensi penegakan hukum secara sewenang-wenang oleh Presiden Prabowo dan mendesak agar:
- Presiden Prabowo berhenti melakukan intervensi penegakan hukum berupa pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi;
- DPR sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif segera membahas UU untuk memberikan batasan bagi Presiden untuk menggunakan haknya yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Indonesia Corruption Watch
Narahubung
Erma Nuzulia Syifa (Staf Divisi Hukum dan Investigasi)
Wana Alamsyah (Kepala Divisi Hukum dan Investigasi)

