Dana Hibah Pilkada Rawan Korupsi, Pengawasan Harus Diperketat!
Kasus korupsi dana hibah pilkada marak terjadi. Negara berpotensi merugi hingga miliaran rupiah dan integritas pilkada tercoreng. Perlu ada pengawasan yang ketat.
Pemantauan ICW terhadap kasus korupsi yang berkaitan dengan pemilu menunjukan bahwa pada tahun 2023 terdapat 17 kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Dari kasus-kasus tersebut sebanyak 11 kasus berkaitan dengan korupsi dana hibah pilkada, dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 38,2 miliar.
Pengawasan ketat terhadap anggaran pilkada mutlak untuk dilakukan lantaran pilkada serentak 2024 akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tak kurang sekitar Rp 41 Triliun anggaran publik akan digelontorkan untuk memilih pemimpin baru di 541 daerah di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dari biaya pilkada sebelumnya yang menghabiskan biaya sebesar Rp20,4 Triliun pada tahun 2020, Rp15,15 Triliun pada tahun 2018, dan Rp5,9 Triliun pada tahun 2017.
Dana hibah Pilkada sendiri dialokasikan melalui APBD masing-masing daerah. Sesuai ketentuan Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dinyatakan bahwa pendanaan kegiatan pilkada dibebankan kepada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Pendanaan yang berasal dari APBD dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan alokasi pendanaan pilkada masing daerah berasal dari tahun anggaran 2023 sebesar 40% dan tahun anggaran 2024 sebesar 60%.
Dana hibah tersebut akan diberikan kepada KPU dan Bawaslu provinsi untuk pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, serta kepada KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Jumlahnya tak kalah sedikit. Dilansir dari publikasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, realisasi NPHD antara Pemda dengan KPUD sudah mencapai 76.9% yaitu senilai total Rp22.11 Triliun dari 541 daerah. Realisasi dana hibah untuk Bawaslu Daerah senilai Rp6.31 Triliun, dan realisasi dana hibah dari pemda untuk TNI sudah disalurkan sebesar Rp567.43 Miliar, dan untuk Polri disalurkan sebesar Rp1.71 Triliun. Hingga pertengahan Juli 2024, proses realisasi NPHD masih terus berjalan.
Anggaran publik, terlebih jika berjumlah besar, selalu rawan untuk disalahgunakan. Tak lupa bahwa kasus korupsi anggaran publik seringkali melibatkan banyak aktor. Kerentanan ini patut disikapi serius, terlebih telah ada banyak kasus penyelewengan anggaran pilkada pada tahun-tahun sebelumnya.
Anggaran Pilkada, termasuk di dalamnya dana hibah yang didistribusikan di setiap daerah membuka ruang konflik kepentingan dari kepala daerah atau pejabat yang berwenang dalam hal anggaran. Kepala daerah atau pejabat itu berpotensi merekayasa anggaran agar dapat menguntungkan pihak yang ia dukung, atau dirinya sendiri jika ia maju dalam kontestasi pilkada.
Praktik korupsi dalam pemilu akan menggerus kualitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Praktik lancung itu berpotensi menghilangkan kepercayaan publik terhadap pejabat yang dihasilkan melalui kontestasi tersebut. Tak kalah penting, praktik korupsi pada masa pemilu dapat menjadi awal dari mata rantai korupsi. Oleh karena itu, penting untuk mendorong komitmen dan integritas seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada termasuk pemerintah daerah, KPU dan Bawaslu di daerah. Selain itu, peran pengawasan dan dorongan transparansi anggaran Pilkada perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dan publik luas.
Divisi Korupsi Politik
Indonesia Corruption Watch
31 Juli 2024