Catatan Kritis Isu Pemberantasan Korupsi dalam RKUHP (draft 4 Juli 2022)

Sumber foto: MI/Pius Erlangga
Tolak RKUHP Rasa Kolonial

Alih-alih mendorong efektifitas efek jera bagi pelaku korupsi, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pemerintah justru kian melemahkannya. Setelah mempreteli habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, kali ini pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi tertuang dalam naskah RKUHP.

Di luar substansinya, proses pembahasan RKUHP dilakukan tertutup karena naskahnya sempat tidak disampaikan kepada masyarakat. Wajar jika kemudian muncul prasangka buruk kepada pembentuk undang-undang. Sebab, praktik serupa juga pernah terjadi dalam pembahasan peraturan perundang-undangan lain, satu diataranya revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu.

Penting untuk ditekankan, jika naskah RKUHP tidak disosialisasikan kepada masyarakat, maka jelas bahwa pemerintah serta DPR telah menabrak UU dan jauh melenceng dari mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun regulasi yang diabaikan adalah Pasal 96 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terkait hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Sederhananya, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi jika naskah RKUHP sempat lama sulit diakses? Pada waktu bersamaan, pemerintah dan DPR justru menyepakati bahwa dalam beberapa bulan mendatang RKUHP akan segera diundangkan.

Tidak cukup itu, bahkan, pembentuk UU mengabaikan perintah MK, tepatnya putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Seperti diketahui, urgensi partisipasi masyarakat atau biasa disebut sebagai perwujudan nilai demokrasi dalam proses pembentukan UU telah ditegaskan MK dengan penyebutan meaningful participation. Istilah itu merujuk pada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi oleh pembentuk UU dalam lingkup partisipasi masyarakat, diantaranya, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Dalam kaitan dengan hal tersebut, jika tidak ingin dituding melanggar aturan formil, maka pembentuk UU harus segera mensosialisasikan naskah RKUHP secara keseluruhan untuk mendengar dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat.

Mirisnya lagi, isu pemberantasan korupsi kian terpinggirkan. Jika dilihat dari pernyataan pemerintah, pembentuk UU tidak memasukkan klausula pasal antikorupsi dalam 14 isu krusial. Padahal, substansi aturan antikorupsi masih dipenuhi dengan sejumlah persoalan. Di luar itu, tim perumus RKUHP juga tidak konsisten, sebab, pada waktu yang lalu, Prof Eddy OS Hiariej, sebelum menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, sempat mengatakan bahwa delik korupsi hanya sebagai core crime dan sekadar bridging article semata. Secara sederhana, hal itu berarti bahwa RKUHP hanya mendefinisikan perbuatan korupsi, tanpa melampirkan usulan perubahan pemidanaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Draft yang ada berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.

Selain aspek formil, ranah materiil di dalam naskah RKUHP per 4 Juli 2020, khususnya berkaitan dengan pemberantasan korupsi mengandung sejumlah masalah mendasar. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi sejumlah persoalan serius, diantaranya:

1.     Hukuman Pelaku Korupsi Dikurangi

Mayoritas pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dikurangi. Pertama, Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara. Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta. Kedua, Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik. Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu.

Ketiga, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.

Spesifik menyangkut hukuman denda, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP. Bagaimana tidak, denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 miliar. Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar. Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan.

2.     Parsial Memberatkan Hukuman

Berdasarkan data KPK, tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari lima belas tahun terakhir (791 perkara). Ini mengartikan bahwa praktik kejahatan itu masih terus merajarela di Indonesia. Maka dari itu, salah satu bentuk evaluasi atas kondisi tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan regulasi dalam UU Tipikor. Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik suap-menyuap dikarenakan sanksi pemidanaan yang terbilang rendah sehingga tidak menghadirkan pemberian efek jera kepada pelaku. Hanya saja, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara. Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera.

3.     Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Merujuk pada definisi itu, maka menurut pembentuk UU, pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan. Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut. Dengan dasar putusan ini, menjadi jelas jika dikatakan RKUHP bertentangan dengan putusan MK.

4.     Korupsi Tidak Lagi Kejahatan Luar Biasa

Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu diantaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor. Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku.

5.     Mengkriminalisasi Kritik Masyarakat dalam Persidangan Perkara Korupsi

Sebagaimana diketahui, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku. Alih-alih menghukum berat, berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi ditambah dengan sejumlah putusan ganjil, mulai dari Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo. Kondisi itu tentu memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku.

Sayangnya, naskah RKUHP justru ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b RKUHP. Maka dari itu, jika ketentuan ini diundangkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang kemudian melancarkan kritik dapat diproses secara hukum. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat.

Maka dari itu, berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags