Zakat Hanya Distribusi Kekayaan Tahunan
Pendidikan dan kemiskinan itu bak dua sisi mata uang. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Mereka yang tidak mengenyam bangku pendidikan sangat mudah terperangkap dalam kubangan kemiskinan.
Oleh karena itu, pendidikan adalah media mobilitas sosial bagi seseorang, salah satu syarat untuk dapat naik ke kelas sosial yang lebih tinggi. Sementara, pendidikan itu pun bukanlah barang gratis dan murah di negeri ini. Akibatnya, yang bisa mengakses secara memadai hanyalah orang-orang borjuis dan berduit.
Karena itulah, tak heran bila kaum miskin papa di bumi pertiwi ini sangat sulit menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Jangankan di perguruan tinggi, di tingkat SMP saja masih banyak anak miskin yang tidak mampu menamatkan sekolahnya.
Data BPS 2007 menunjukkan bahwa sekitar 16,5 % anak usia 13-15 tahun mengalami putus sekolah. Untuk tingkat sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, sekitar 684.967 anak yang putus sekolah.
Kemudian, berdasar data ILO, di Jawa ada sekitar 19% anak usia 15 tahun yang putus sekolah. Dengan begitu, wajar apabila anak yang buta huruf di atas usia 15 tahun semakin tambun saja jumlahnya. Yakni, kurang lebih 10,21 % atau sekitar 15, 4 juta jiwa (Sagoro, 2007).
Sangat mungkin, salah satu penyebab masih banyaknya masyarakat miskin yang belum maksimal mengakses pendidikan adalah minimnya dana pendidikan nasional yang dialokasikan pemerintah. Bila kita coba bandingkan, harus jujur diakui bahwa anggaran pendidikan nasional kita jauh lebih rendah daripada beberapa negara tetangga kita.
Di Malaysia, misalnya, anggaran nasional untuk pendidikan kini sudah di atas 30% dari APBN-nya. Bahkan, di Singapura justru mendekati angka 60% dari APBN-nya.
Fakta di atas tentu berbeda jauh dengan negara kita yang hanya mengalokasikan 20% dari APBN-nya untuk anggaran pendidikan nasional. Ironisnya, anggaran 20% itu malah hanya bisa direalisasikan 8,4% saja pada 2006.
Dengan kata lain, pendidikan nasional kita hanya mendapat jatah 36 triliun dari total anggaran belanja negara (APBN) yang sebesar 424 triliun.
Karena itulah, bangsa ini kemudian meminta bantuan pinjaman dari lembaga donor asing. Tujuannya, untuk memaksimalkan kinerja pemerintah di bidang pendidikan. Tahun 2003 saja, usul utang bangsa ini senilai USD 2,1 miliar untuk 41 proyek. Pada 2004, usul utang itu naik menjadi USD 2,3 miliar untuk 44 proyek dan sebesar USD 12 miliar untuk 220 proyek pada 2005.
Berbagai proyek yang diajukan itu menyangkut bidang ketahanan, pekerjaan umum, kesehatan, kesejahteraan, dan pemberantasan kemiskinan. Sementara di bidang pendidikan, bangsa kita menerima bantuan pinjaman dari bank dunia sebesar USD 320 juta.
Namun, pinjaman itu kemudian dihentikan Bank Dunia karena di lapangan banyak terjadi kebocoran. Dikorupsi oleh struktural pendidikan baik nasional maupun daerah. Apalagi, di dalam hal bantuan konstruksi gedung sekolah, Bank Dunia mengungkapkan bahwa ada ketidakberesan di Jawa Timur dan Sumatera Barat. Misalnya, dari 18 sekolah yang dipilih secara acak menunjukkan bahwa hasil konstruksi gedungnya ternyata belum tuntas dan kurang memenuhi syarat kelayakan.
Bukan hanya itu. Bantuan yang berasal dari dalam negeri sendiri berupa pemberian dana bantuan operasional (DBO) untuk SLTP sebesar 4 juta dipotong 11,5%. Padahal, dalam pedoman pemberian DBO tidak dijelaskan adanya berbagai potongan apa pun.
Kemudian, penelitian ICW menunjukkan bahwa kurang lebih 30% (400 miliar) dalam distribusi dan spesifikasi buku-buku pelajaran untuk SD dan SLTP yang dilakukan selama empat tahap pun bernasib sama, mengalami berbagai kebocoran dan dikorup.
Tak pelak lagi, kebocoran itu pun menimpa dana bantuan pemerintah untuk pendidikan rakyat yang diambil melalui kenaikan harga BBM dan melalui program BOS (bantuan operasional sekolah). Jadi, tak berlebihan jika ICW mengatakan bahwa Depdiknas kita merupakan lembaga terkorup kedua setelah Departemen Agama.
Memang, kita akui bersama bahwa pendidikan itu merupakan sarana pembebasan, pemberdayaan, perubahan nasib, serta pengembangan potensi kemanusian seseorang. Bahkan, pendidikan itu pun dapat menjadi kendaraan penting demi membuat kehidupan suatu bangsa menjadi lebih baik. Jepang, misalnya, kini menjadi bangsa maju dan diperhitungkan negara-negara dunia berkat konsennya para pemerintahnya terhadap pendidikan.
Persoalannya sekarang, jika pemerintah kita belum serius untuk mengurusi pendidikan, terutama pendidikan bagi masyarakat miskin, lalu apa yang harus dilakukan masyarakat?
Salah satunya dengan distribusi zakat untuk pendidikan kaum miskin. Zakat ini penting dilakukan bukan karena untuk ritual ibadah semata. Melainkan di sana terkandung juga hak orang miskin. Termasuk, sebagai distribusi kekayaan, implementasi kesalehan sosial, dan meringankan beban pemerintah yang tengah teralienasi karena mengurusi akumulasi modal ekonomis dan politik.
Hanya, zakat sendiri mengalami kendala untuk membantu masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan ketika pelaksanaannya sekadar dilakukan setahun sekali. Padahal, aliran dana pendidikan yang harus dikucurkan kaum miskin dalam setiap bulan selalu ada. Seperti dana transportasi, dana perlengkapan belajar, makanan yang sehat dan bergizi, dana kesehatan, uang les, SPP, uang rekreasi, uang jajan, dll.
Distribusi yang tepat sasaran juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan pengelola dan panitia zakat. Sebab, bukan tidak mungkin orang yang sebenarnya masih dikatagorikan mampu menyamar menjadi orang miskin jadi-jadian. Sehingga, masyarakat yang sebenarnya betul-betul miskin menjadi terabaikan tanpa disadari.
Tetapi, yang lebih urgen ialah jangan sampai zakat itu ditindihi kepentingan politik dan ekonomis. Apabila zakat telah ditunggangi kepentingan tersebut, orientasinya bukan untuk membantu kaum miskin dalam pendidikan. Tapi, lebih ke arah manipulasi massa dan politik pencitraan. Semoga tidak.
Ardhie Raditya, mahasiswa Sosiologi UGM, Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 oktober 2007