Zakat Bukan Sin and Money Laundering

Saat ini, seiring dengan datangnya Ramadan, selebrasi keagamaan di Indonesia begitu meriah. Banyak orang Islam merefleksikan keberagamaannya secara heroik dan euphoriable. Di sepanjang jalan protokol kota-kota besar di Indonesia, misalnya, tergelar spanduk gerakan zakat sebagai bentuk kampanye agar umat Islam sadar atas kewajiban zakatnya.

Semarak kampanye zakat ini memang menjadi usaha strategis umat Islam menghimpun dana zakat agar dapat dikelola secara profesional dan menjadi dana konsumtif serta produktif demi kemaslahatan umat. Itulah ajaran zakat yang dibayangkan dapat mengangkat perekonomian umat Islam.

Namun, dalam kenyataannya, meski sudah ada Undang-Undang Pengelolaan Zakat Nomor 38 Tahun 1999, hingga kini zakat belum dikelola secara baik sehingga belum mencapai hasil yang maksimal dan optimal dalam upaya pengentasan masyarakat miskin dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Undang-undang ini pun tidak punya daya paksa untuk menembus benteng para muzakki (wajib zakat) dan kaum aghniya' (konglomerat) untuk mengeluarkan zakat mereka.

Yang menarik sekaligus memprihatinkan, ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa uang (harta) yang diperoleh dengan cara tidak sah alias haram, entah dari korupsi atau apa pun, ketika dizakati, uang hasil korupsi tersebut menjadi suci. Baginya, zakat dimaknai sebagai money laundering (cuci uang) dan sin laundering (cuci dosa) atas harta yang diperolehnya secara tidak halal itu.

Pertanyaannya, benarkah uang hasil korupsi itu otomatis menjadi suci setelah dibayarkan zakatnya?

Penyucian diri dan harta
Secara epistemologis, zakat adalah penyucian diri dan harta. Dalam Al-Quran disebutkan, zakat berfungsi sebagai media penyucian diri dari harta. Misi penyucian ini memiliki dimensi ganda. Pertama, sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi penunainya, karena ia dituntut berkorban (menyantuni) demi orang lain.

Kedua, zakat sebagai penebar kasih sayang kepada kaum tak beruntung dan penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap si kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya bagi penerimanya, tapi juga pemberinya.

Allah SWT berfirman, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9: 103).

Jika dicermati, kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh: jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.

Berkembangnya harta ini dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek spiritual, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS 2: 276: Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah/zakat. Kedua, aspek ekonomis-psikologis, yaitu ketenangan batin pemberi zakat. Shadaqah dan zakat akan mengantarnya berkonsentrasi dalam usaha dan mendorong terciptanya daya beli serta produksi baru bagi produsen.

Lebih dari itu, menurut Masrcel Boisard, zakat memberi kemenangan terhadap egoisme diri atau menumbuhkan kepuasan moral karena telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam yang lebih adil. Dalam bahasa Roger Geraudy, zakat adalah satu bentuk keadilan internal yang terlembaga sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu, orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan diri.

Maka zakat tidak sekadar menjangkau hubungan teologis dengan Tuhan, tapi juga merefleksikan kehidupan sosial. Parameternya adalah orang yang memiliki kesadaran hidup yang transendental (dekat dengan Tuhan) seharusnya merefleksi ke dalam kesadaran horizontal, seperti peduli terhadap masyarakat sekitar.

Memang, zakat dalam Islam dimaksudkan sebagai ajaran sosial, selain sebagai ibadah ritual yang ditujukan untuk menyucikan jiwa atas harta yang diperolehnya. Yang jelas, efek sosial ajaran zakat amat mengena pada kepedulian terhadap masyarakat yang tidak mampu (duafa).

Di tengah beragam krisis yang kini masih mengimpit bangsa ini, sejatinya zakat menjadi dimensi ibadah yang penting. Zakat dapat diberdayakan untuk mendorong perbaikan kehidupan masyarakat. Dalam konteks inilah gerakan sadar zakat yang dulu pernah dicanangkan Presiden Megawati perlu kiranya digelorakan kembali. Dengan demikian, zakat benar-benar bisa dijadikan sarana transformasi masyarakat menuju kehidupan yang berkeadilan dan seimbang secara ekonomi.

Sin and money laundering
Sebagaimana disebut di awal bahwa makna zakat yang sarat nuansa sosial acap kali disalahpahami dan disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam, sehingga kehilangan makna substansialnya.

Pertama, zakat yang bermakna penyucian harta (tazkiyat al-mal) sering kali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan sebagai cara untuk menyucikan harta mereka yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktek kemaksiatan lainnya. Konkretnya, zakat dijadikan media sin and money laundering (pencucian uang dan dosa) dari segala praktek haram.

Dengan pemaknaan ini, zakat jelas kehilangan makna substansinya untuk menyucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Padahal harta yang diperoleh dari praktek korupsi selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai penyucian terhadap segala praktek haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapat laknat dari Tuhan dan tidak mendapat keberkahan dalam hartanya.

Kedua, korupsi sesungguhnya telah mengingkari makna ajaran zakat yang secara sosial bertujuan menciptakan keadilan ekonomi dan sosial (social and economical justice). Bukankah harta yang dikorupsi adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir miskin dan mereka yang perlu mendapat perlindungan ekonomi?

Di manakah letak kepedulian sosialnya, jika ia mengorup harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri. Karena itu, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat, yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram.

Apa pun alasannya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, tidak secara otomatis menjadi suci. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat menyucikan harta dan menciptakan keadilan sosial. Zakat bukanlah sin and money laundering dari segala praktek haram.

Maksun, DOSEN FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, SEMARANG

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan