Yusuf Erwin Faishal Dituntut 6,5 Tahun

Terdakwa Dua Kasus Korupsi

Mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Erwin Faishal harus menunda dulu keinginan untuk segera bebas dari penjara. Itu setelah jaksa penuntut umum (JPU) menuntut suami artis Hetty Koes Endang tersebut dengan hukuman enam setengah tahun penjara. Terdakwa yang terlibat dalam dua dugaan korupsi sekaligus -rekomendasi alih fungsi hutan lindung pelabuhan Tanjung Api-Api dan revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)- juga terancam pidana denda Rp 250 juta subsider empat bulan penjara.

Tuntutan itu lebih tinggi dibanding koleganya di Komisi IV Sarjan Tahir yang dituntut lima tahun penjara. Yusuf merupakan terdakwa ketiga kasus alih fungsi hutan lindung yang duduk di kursi pesakitan. Sebelumnya, Sarjan dan Chandra Antonio Tan, direktur PT Chandratek Indo Arta, sudah mendapatkan ganjaran hukuman.

Untuk mengembangkan kasus itu, KPK juga telah menetapkan mantan Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman sebagai tersangka. ''Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor, pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP dan pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tipikor," kata jaksa Moch Rum kemarin.

Menurut Rum, Yusuf terbukti terlibat dalam dua tindak pidana korupsi. Yang pertama, dia menerima dana Rp 275 juta dari Sarjan Tahir sekitar Oktober 2006. Dana itu berasal dari pengusaha Chandra Antonio Tan. Dana itu juga mengalir ke sejumlah anggota Komisi IV lainnya.

Sekitar Juni 2007, Yusuf kembali menerima aliran fulus dari Chandra Rp 500 juta. Itu merupakan sisa penyerahan dana yang dijanjikan calon investor pembangunan Pelabuhan TAA senilai Rp 5 miliar. Sama halnya dengan penyerahan pertama, dana itu juga mengalir ke sejumlah anggota komisi yang lain. "Penyerahan dana tersebut patut diduga untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya," ujar jaksa Siswanto.

Jaksa juga mengurai peran Yusuf dalam skandal yang telah menyeret dua terdakwa dalam persidangan itu. Yusuf disebutkan telah mengarahkan Sarjan Tahir menghubungi Sofyan. Disebutkan bahwa untuk memuluskan pengurusan rekomendasi alih fungsi hutan lindung tersebut dibutuhkan dana Rp 5 miliar. "Padahal, patut diduga terdakwa mengetahui bahwa anggota DPR dilarang keras menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain saat menjalankan tugas," katanya. ''Memang ada kehendak terdakwa melanggar sumpah jabatan," tambahnya.

Jaksa juga menyebutkan bahwa anggota DPR yang lain: Azwar Chesputra, Hilman Indra, dan Fachri Andi Leluasa telah sepakat menerima imbalan dana dalam pengurusan rekomendasi tersebut. ''Kami berkesimpulan tindakan terdakwa juga tidak dilakukan sendiri, melainkan bersama-sama orang lain," jelasnya.

Bukan hanya itu. Yusuf juga dimintai pertanggungjawaban terkait hadiah yang diterima dalam proyek revitalisasi SKRT. Awal Agustus 2007, Yusuf dihubungi David Angka Wijaya, perwakilan PT Masaro, untuk menyerahkan sejumlah uang dari Anggoro Widjoyo, senilai Rp 105 juta dan 85 ribu dolar Singapura. Selanjutnya, uang itu dibagi-bagikan kepada anggota DPR yang lain. Uang itu untuk memuluskan rekomendasi pengurusan anggaran senilai Rp 180 miliar.

"Diam-diam terdakwa secara aktif berhubungan dengan Anggoro Widjoyo dari PT Masaro selaku rekanan proyek SKRT," jelas jaksa Andi Nurhalis, anggota tim jaksa yang lain. Padahal, kata Andi, pengajuan anggaran SKRT masih menjadi perdebatan di parlemen.

Menanggapi tuntutan itu, Yusuf sama sekali tak berkomentar. "Semuanya saya serahkan kepada penasihat hukum saya," jelasnya. Istri Yusuf, Hetty Koes Endang, juga tak mau mengomentari tuntutan tinggi terhadap suaminya itu.

Sheila Salomo, kuasa hukum Yusuf, mengungkapkan, dalam kasus itu yang berperan besar sesungguhnya Sarjan Tahir. "Sarjan dan anggota lain yang masih dalam pemeriksaan itu yang berperan besar," katanya. Dia juga mengungkapkan bahwa fakta di sidang sangat berbeda dengan tuntutan jaksa tersebut. (git/iro)

Sumber: Jawa Pos, 17 Maret 2009

----------------

Yusuf Dituntut 6 Tahun
Penasihat Hukum Nilai Terlalu Memberatkan

Mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Erwin Faishal dituntut pidana penjara enam tahun enam bulan dan membayar denda Rp 250 juta subsider empat bulan kurungan. Yusuf dinilai jaksa terbukti melakukan tindak pidana korupsi, yakni menerima hadiah uang.

Dia menerima yang terkait dengan proses persetujuan atas usulan pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api.

Perbuatan menerima cek perjalanan senilai Rp 5 miliar dilakukan terdakwa Yusuf bersama anggota DPR lain, yaitu Sarjan Tahir, Hilman Indra, Azwar Chesputra, dan Fachri Andi Leluasa.

Tuntutan dari tim penuntut umum di Komisi Pemberantasan Korupsi, Moch Rum, Riyono, Siswanto, dan Andi Suharlis, dibacakan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/3).

Menanggapi tuntutan ini, terdakwa Yusuf meminta waktu kepada majelis yang dipimpin hakim Edward D Pattinasarani untuk menyampaikan nota pembelaan pada 25 Maret 2009. Majelis hakim mengabulkannya, Senin.

Didakwakan, untuk memperlancar proses persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang, Yusuf bersama empat anggota Komisi IV DPR menerima Rp 5 miliar.

Dana tersebut diterima pertama oleh Sarjan dari pengusaha Chandra Antonio Tan, Oktober 2006, menjelang Rapat Kerja Komisi IV DPR dan Menteri Kehutanan dalam amplop berisi cek perjalanan (Mandiri Traveller Cheque) yang seluruhnya berjumlah Rp 2,5 miliar. Cek itu dibagikan kepada beberapa anggota Komisi IV dan terdakwa mendapat bagian Rp 275 juta, Sarjan Rp 150 juta, Hilman Rp 175 juta, Azwar Rp 325 juta, dan Fachri Rp 175 juta.

Terdakwa juga mengarahkan, pada Juni 2007 Sarjan menghubungi Sofyan Rebuin, mantan Sekda Provinsi Sumsel, dan beberapa orang lain untuk meminta sisa uang Rp 2,5 miliar. Dana itu diterima terdakwa di Hotel Mulia dan dibagikan kepada Sarjan, Hilman, Azwar, dan Fachri. Terdakwa mendapat Rp 500 juta.

Menurut penuntut umum, Yusuf mengetahui pemberian hadiah itu karena jabatannya sebagai Ketua Komisi IV DPR, yang membidangi masalah kehutanan dan berwenang memberikan rekomendasi dalam pelepasan kawasan hutan lindung, serta rekomendasi persetujuan usulan anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

”Dengan demikian, perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dikehendaki dan diinsafi untuk melakukan perbuatan yang melanggar sumpah jabatan dan kode etik yang melekat pada jabatan terdakwa,” ujar jaksa.

Harus dipidana
Penuntut umum tidak menemukan adanya alasan yang dapat menghapus unsur kesalahan atau menghapus pertanggungjawaban pidana terdakwa, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar. Oleh karena itu, terdakwa harus dipidana.

Selain perbuatan tersebut dilakukan saat pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, yang memberatkan adalah Yusuf tidak berterus terang atas perbuatannya.

Saat ditanya wartawan apakah tuntutan tersebut terlalu berat baginya, Yusuf tidak berkomentar. Penasihat hukum Yusuf, S Salomo, menyatakan, pihaknya akan mengajukan nota pembelaan karena tuntutan terhadap Yusuf dinilai terlalu memberatkan kliennya dan banyak yang tidak sesuai dengan fakta persidangan. (SON)

Sumber: Kompas, 27 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan